Saat beberapa orang saat ini berpikir bahwa sinema adalah ruang tak berbatas. Sepertinya, Minikino berusaha terus mempertanyakan dan menantangnya. Itulah impresi saya setiap kali melihat film-film pendek dari salah satu program mereka, Begadang Filmmaking Competition. Kompetisi film pendek yang setiap tahun digelar dan diikuti oleh berbagai partisipan pembuat film dari seluruh Indonesia maupun luar negeri selama sutradara dan produsernya adalah WNI.
Alasannya sederhana, di program ini Minikino menerapkan beberapa unsur elemen sinematik wajib untuk para partisipan. Elemen yang harus hadir dalam film pendek yang diproduksi selama 34 jam saja. Aturan yang merupakan sebuah tantangan ini akhirnya berhasil menantang banyak pembuat film pendek untuk berpartisipasi.
Batasan-batasan tersebut yang kemudian disajikan kembali pada Minikino Monthly Screening and Discussion (MMSD) tanggal 14 Juni 2023 lalu. Sebuah program berisi sembilan film pendek hasil kompetisi Begadang Filmmaking Competition selama tahun 2017-2022 ditayangkan untuk menyambut Begadang Filmmaking Competition 2023 di bulan Juli. Film-film tersebut adalah: Chicken Awaken (Beny, 2022), Eksperes (Rano Firmansyah, 2018), ALMARI (Husin “Claymation”, 2017), SANTET! (Vandy Woo, 2022), The Lemony Snippets of a Loony Reverie (Azalia Muchransyah, 2022), Uhh, Ckck, Boom (Insyafa “Ison” Rafli, 2022), From Mars For England (Mochamad Rizky Fauzy, 2021), Makasih Mbak Anggun (Dimas Adiputro, 2021), dan Hai Guys Balik Lagi Sama Gue, Tuhan! (Winner Wijaya, 2020).
Sembilan film yang berasal dari beberapa edisi Begadang Filmmaking Competition ini menyajikan beragam rupa cara bertutur dan siasat dalam mengolah visual, yang jika diperhatikan berakar dari tuntutan elemen sinematik yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Yang menarik adalah, bagaimana setiap partisipan (filmmaker) berusaha memaksimalkan potensi yang ada di sekitarnya untuk memenuhi tuntutan waktu produksi, dan elemen sinematik. Banyak keunikan terjadi tidak hanya dalam hal mengolah visual, namun juga bagaimana mereka mengolah cara bertutur.
Hal ini nampak dari beberapa film yang bahkan harus menggunakan konsep satu sampai dua scene saja hanya untuk memadatkan cerita agar tidak melebihi waktu produksi dan tidak menyulitkan secara artistik seperti, Eksperes yang menggunakan jalanan dan mobil truk saja, ALMARI yang menggunakan set meja saja, SANTET! yang mengandalkan dua kamar kosan, Uhh, Ckck, Boom yang mengambil seluruh ruangan di dalam set rumah, From Mars For England yang mengambil set hanya di ruang tamu, dan Makasih Mbak Anggun yang mengandalkan kamar kosan sebagai set utama sepanjang film.
Semua film tersebut diproduksi tidak lebih dari dua tempat dengan set yang lebih sederhana dan apa adanya, hal ini mengingatkan saya dengan konsep yang pernah ditawarkan oleh Dogme 95. Sebuah konsep estetis dan politis dicetuskan oleh Lars von Trier dan Thomas Vinterberg pada 13 Maret 1995, di Paris. Dalam manifesto Dogme 95, filmmaker dituntut untuk mengembalikan esensi sinema ke masa-masa awal sinema itu sendiri, tanpa adanya hal-hal yang bersifat rumit terutama pada saat proses produksi. Tujuannya, supaya sutradara dapat mengambil kendali penuh sebagai seorang seniman yang bebas tanpa adanya intervensi eksternal, terutama dalam hal teknis.
Selain itu tiga film lainnya dalam program Begadang yaitu, Chicken Awaken, The Lemony Snippets of a Loony Reverie, dan Hai Guys Balik Lagi Sama Gue, Tuhan! menggunakan konsep yang lebih beragam daripada film yang lainnya. Dalam film Chicken Awaken, Beny sebagai sutradara menggunakan gaya B-Movie dalam mengolah efek khusus demi menghadirkan sensasi komedi yang aneh, wagu, dan berbeda bagi penonton. Azalia di sisi lain, dalam filmnya The Lemony Snippets of a Loony Reverie menggunakan animasi stop motion tanpa ada sama sekali adegan live action. Mengolah kisah personal dengan menggunakan alur cerita surreal. Sementara Winner, menggunakan pendekatan long take dalam filmnya, untuk menggambarkan dan menghadirkan nuansa sudut pandang Tuhan yang bersifat kontinu dan real time. Tanpa ada intervensi keberagaman shot yang mampu memotong emosi dan story time itu sendiri bagi penonton.
Seusai pemutaran di Mash Denpasar yang dihelat pada tanggal 14 Juni 2023 muncul sebuah pertanyaan menarik dalam sesi diskusi terkait mengapa, Minikino mengadakan Begadang Filmmaking Competition? Ternyata kompetisi ini terinspirasi dari program serupa yaitu 15/15 Film Festival yang didirikan oleh Amadeo Marquez-Perez di Australia pada 2003-2004. Saat itu Minikino menjadi co-organizer dari festival tersebut di Indonesia. Di tahun 2016, Minikino juga sering melibatkan film-film hasil dari kompetisi 24 jam dari beberapa negara yang ternyata beberapa karyanya cukup variatif secara bentuk, ujar Edo Wulia dan I Made Suarbawa, sebagai penjaga posko kompetisi Begadang, pada sesi diskusi. Dari keterlibatan itulah, lahir ide untuk menghadirkan kompetisi Begadang dengan tidak hanya membatasi durasi waktu, juga membatasi elemen sinematiknya. Lantas mengapa, harus elemen sinematik?
Eksplorasi dalam Keterbatasan
Sedikit melihat kebelakang, Minikino adalah satu dari sekian organisasi film yang menjadi saksi pergerakan film pendek di Indonesia. Film pendek tumbuh dengan semangat kebebasan dalam segala keterbatasan teknis dan regulasi di awal dekade 2000.
Menurut saya, film pendek di Indonesia selalu lahir dari perkembangan teknologi dan anti-tesis kemapanan. Embrio eksperimentasi terhadap medium film pendek lahir dari komunitas-komunitas film yang bahkan tidak memiliki modal kapital sama sekali. Ditambah “keluguan” terhadap standarisasi-standarisasi industri. Namun, keluguan tersebut menghasilkan rasa penasaran untuk terus mencoba dan melahirkan formula serta formasi yang khas.
Lantas, tuntutan elemen sinematik yang spesifik di Begadang Filmmaking Competition hadir untuk memantik kembali rasa penasaran terkait hal tersebut, sekaligus penegasan ulang atas aspek “kebebasan”, “eksplorasi”, dan “eksperimen” dalam membuat film pendek. Di mana melalui Begadang, banyak pembuat film yang mengaku harus dan dipaksa untuk keluar dari standarisasi-standarisasi yang ada. Melupakan sejenak apa yang pernah mereka pelajari semasa kuliah atau berkomunitas, termasuk dalam aspek teknis karena beberapa elemen sinematik yang harus hadir setiap tahunnya.
Konsep yang membatasi ini juga penting jika dilihat dari aspek psikologi, dalam bukunya, Creativity (1971). A.J. Cropley, seorang profesor pendidikan di University of Hamburg, pernah membicarakan tabrakan antara pembatasan dan kreativitas yang berkembang, baginya: “Berpikir kreatif terjadi ketika batas-batas yang diketahui terlebih dahulu dikuasai, melalui proses konvergen, dan kemudian diperluas, dengan penerapan proses divergen”.
Proses konvergen, yang merupakan cara berpikir dengan menabrakan dan mengkombinasikan satu informasi yang sudah pasti dengan informasi atau ide lainnya yang baru muncul. Hal inilah yang nampaknya diterapkan Minikino dalam menentukan aspek elemen sinematik apa saja yang harus hadir dan mampu memantik aspek kreatif para pembuat film. Hingga akhirnya nanti para pembuat film berpikir secara divergen setelahnya, yang mana proses berpikir dalam membuka pikiran akan segala kemungkinan yang terjadi, proses divergen ini yang kemudian akan menempatkan para pembuat film dalam pemecahan solusi yang tidak terbatas oleh apapun (bebas).
Hal yang akhirnya menjadi pertanyaan saya kepada para alumni Begadang Filmmaking Competition pada sesi diskusi adalah, “apa impact yang kalian rasakan setelah mengikuti Begadang?” Hampir semuanya merasa bahwa kompetisi ini, membuka khasanah dan kesempatan bagi mereka untuk mengolah cerita lebih “nyeleneh”, “aneh”, bahkan lebih “ngawur” lagi. Dan tidak ada yang salah dari kengawuran teman-teman terhadap karyanya sendiri.
Winner Wijaya merupakan salah satu pemenang kompetisi Begadang dengan filmnya yang berjudul Hai Guys Balik Lagi Sama Gue, Tuhan! yang kini terkenal dengan keanehan eksplorasi karyanya. Keberanian eksperimennya kini mengantar Winner untuk lebih sering berkarya dengan gaya B-Movie bersama adiknya Rayner Wijaya, sambil sekali waktu bersama Azzam Fi Rullah dari Kolong Sinema. Banyak dari pengamat film merasa, hal yang dilakukan generasi baru ini bukan sekedar gerakan iseng belaka. Namun mulai menjelma semacam sebuah gerakan di skena film pendek Indonesia, yang muncul akibat kejenuhan akan estetika dan teknis produksi film dewasa ini.
Sementara itu ada, Azalia Muchransyah yang merupakan salah satu partisipan rutin Begadang Filmmaking Competition. Dalam sesi diskusi ia mengaku bahwa keterlibatannya dalam kompetisi ini mampu membuka perspektifnya dalam bereksperimentasi melalui film pendek. Beberapa karyanya pun terlibat dalam berbagai festival film Internasional, seperti Mimesis Documentary Festival, Minikino Film Week, DOCUTAH International Documentary Film Festival, dan sebagainya. Di samping kesibukannya sebagai filmmaker dan dosen film di Bina Nusantara University. Pengalamannya bereksperimentasi di Begadang Filmmaking Competition, dirasa penting guna memantik semangat kebebasan dalam membuat film pendek di kalangan mahasiswa film hari ini.
Winner dan Azalia adalah dua dari sekian banyak pembuat film yang tumbuh dan berproses bersama Minikino, festival yang merupakan salah satu hub bagi ekosistem film pendek di Indonesia. Begadang Filmmaking Competition adalah salah satu upaya untuk terus meregenerasi ekosistem perfilman melalui sebuah tantangan dan pertanyaan, bisakah film pendek kalian tak terbatas walau dalam batasan-batasan?
Discussion about this post