Bagi filmmakers di Aceh ada satu hal yang sangat dinantikan kembali kehadirannya, yaitu acara tahunan Aceh Film Festival (AFF), yang dua tahun silam sempat absen keberadaannya. Kini di tahun 2021 AFF diadakan kembali dengan berbagai agenda yang akan mengisi kegiatan ini, salah satunya pemutaran 4 film “Focus in Myanmar: Whispers of Silence”. Dalam agenda ini kita diberi tontonan langsung film pendek pilihan dari Myanmar, yang dikemas dalam program film pendek S-EXPRESS 2020: MYANMAR, dengan film berjudul; Acceptance (Nyi Zaw Htway/ Myanmar/ 2019), Between (Than Lwin Oo/ Myanmar/ 2019), Whispers of Silence (Zaw Bo Bo Hein, Mg Bhone/ Myanmar/ 2018) dan 1/4 Wasted (Myo Thar Khin/ Myanmar/ 2019).
Ketika saya menonton, pikiran dan hati saya terpaku kepada keadaan Myanmar kini. Semenjak 1 Februari yang lalu terjadi kudeta pihak militer Myanmar, kini ada 10.000 masyarakat lari ke hutan untuk mencari perlindungan. Mereka dalam keadaan sangat membutuhkan makan, air, tempat tinggal, bahan bakar serta akses kesehatan. Demikian laporan Liputan6.com, Kamis (10/6/2021). Sampai sekarang total ada 520 orang yang menjadi korban selama kudeta Myanmar berlangsung, angkanya akan terus bertambah sampai konflik ini berakhir.

Selanjutnya dari 4 film Focus in Myanmar, film Whispers of Silence menjadi film yang saya suka, bercerita tentang seorang pria yang telah kehilangan kekasihnya. Ia berkeinginan untuk mencari kekasih baru, yang kebetulan ia dapatkan ketika hendak mengikuti demo. Ketika mereka sudah ingin dekat, seketika arwah kekasihnya mengamuk mengetahui bahwa ia sudah memiliki pengganti. Hanya penonton yang dapat melihat arwah perempuan itu, saat melempar piring ke segala arah. Jelas laki-laki dan kekasih barunya sangat terkejut dengan kejadian itu. Mereka menganggap itu adalah ulah setan, dimana kebetulan di bawah apartemen mereka sedang berlangsung agenda pengusiran makhluk halus menggunakan air. Saya berspekulasi bahwa kekasihnya mati berkorban dalam memperjuangkan demokrasi di sana. Jelas kejadian itu sangat mempengaruhi hidup mereka.
Bagi saya kini film bukan hanya menjadi media penghibur semata dikala diri ini kesepian. Film sudah berkembang menjadi senjata untuk berbicara contohnya saja berdasarkan film Whispers of Silence, berapa banyak pasangan telah terpisah oleh kematian. Katakan saja 520 korban di atas tadi sebagai sepasang kekasih, sudah berapa banyak kematian tersebut mempengaruhi kehidupan sosial mereka?
Saya merasakan bahwa Aceh dan Myanmar secara fisik cukup mirip seperti kembar. Ada beberapa lokasi bahkan sangat mirip dengan Aceh. Di antaranya lokasi di Film Acceptance (2019), mengingatkan saya pada Jembatan Cot Iri, Aceh Besar.
Melihat apa yang terjadi di Myanmar sekarang, Aceh kini juga tidak sedang baik-baik saja. Aceh masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Baik itu dari segi kemiskinan, pendidikan dan yang paling baru masalah korupsi. Saya rasa sebagai seorang pembuat film, tema-tema yang saya sebutkan tadi harus menjadi sub-tema yang akan diangkat oleh kita. Paling tidak kita juga berani bersuara lewat film pendek mengenai keadaan Aceh kini. Bagi saya hanya filmlah salah satu pengungkapan realitas tertinggi yang dapat kita lihat lewat indra mata kita. Kembali lagi ke AFF yang akan diadakan nanti, saya sangat berharap adanya film-film Aceh yang mengangkat tema konflik seperti Whispers of Silence yang diproduksi langsung oleh sineas Aceh. Semoga nantinya agenda Aceh Film Festival akan berjalan dengan lancar dan diberi kemudahan, amin.
Discussion about this post