“Short Film Festival is defined as a cultural event that considers cinema and video as an art form and a film or video as a work of art.” – Short Film Conference
Kutipan di atas menunjukan bahwa festival film, bagaimanapun, adalah kerja kebudayaan. Minikino yang memiliki semangat, “Culture can only exist and develop with exchange, not isolation,” menggambarkan bagaimana sebetulnya organisasi ini sangat menaruh perhatian terhadap keluasan akses yang inklusif. Minikino sebagai festival film pendek di Indonesia, memiliki kapasitas menjadi ruang pertukaran gagasan.
Irisan saya dengan festival film sebetulnya sudah berlangsung sejak saya pindah ke Jogja tahun 2016 untuk kuliah. Saya selalu nongkrong di festival-festival film meskipun tidak pernah menjadi relawan atau bagian dari pengurus. Kesempatan mengikuti program magang di Minikino sebagai penulis, sebetulnya adalah keterlibatan pertama saya dalam festival film. Pada tanggal 30 Juni 2021, diadakan pemaparan materi pertama tentang apa itu Minikino dan kerja-kerja apa saja yang Minikino lakukan untuk para peserta magang. Peserta magang yang lain adalah Tirza Kanya dari Jogja, Rayhan Darmawan dari Jakarta, dan Azalia Syahputri dari Bali. Pada kesempatan ini materi disampaikan oleh Edo Wulia, direktur festival yang sudah bekerja untuk Minikino sejak 2003. Tulisan ini adalah catatan dan refleksi singkat saya tentang pertemuan ini.
Mendengarkan paparan dari Edo terkait jaringan dan kinerja Minikino, membuat saya merasa berada di depan pintu masuk keragaman budaya lokal dan global sekaligus. Hal ini menjadi sesuatu yang cukup menggairahkan karena cara saya berpikir dan berlaku selalu berada “di antara” dua irisan lokal dan global. Apalagi medium pertukaran ini melalui film, hal yang memang saya tekuni cukup serius. Lokalitas yang ditawarkan Minikino tertuang dalam program Indonesia Raja, dan kegiatan Pop-Up Cinema yang menjangkau kantung-kantung penayangan film pendek di desa-desa yang ada di pulau Bali. Di sanalah terjadi pertemuan dan pertukaran yang memuat geliat kebudayaan Indonesia. Sementara itu globalitas hadir melalui program Monthly-Screening & Discussion dan Minikino Film Week yang merupakan upaya untuk mempertemukan pegiat film pendek dalam skala global.
Film pendek bagaimanapun, berada di posisi yang marjinal atau termarjinalkan. Alasannya mungkin sudah bisa ditebak, karena—seperti apa yang dikatakan Edo—kapital tidak hadir di sana. Posisi film pendek yang termarjinalkan, juga menyebabkan diskriminasi terhadap film pendek. Salah satu contoh praktik diskriminasi ini dapat dilihat pada FFI 2012. Ketika film Bermula dari A menang Piala Citra sebagai film pendek terbaik. Di atas panggung, setelah menerima piala, BW Purbanegara mengawali pidato kemenangannya dengan berkata, “Selamat malam. Kalau nggak salah ini off-air ya? Ternyata FFI masih mendiskriminasi film pendek.” Pernyataan BW Purbanegara disambut sorak sorai dan tepuk tangan penonton. Pasalnya, beberapa menit sebelum sutradara asal Yogyakarta itu naik ke panggung, pembawa acara mengabarkan hadirin di lokasi dan pemirsa layar televisi bahwa mereka akan rehat sejenak untuk jeda iklan.
Selain itu, dalam ranah produksi, film pendek kerap masih dianggap sebagai pengantar, atau bahkan latihan sebelum produksi film panjang. Saya masih sering mendengar ungkapan, “Gue mau bikin empat film pendek dulu, baru berani bikin film panjang,” atau “Bikin film pendek dulu biar dapet tim solid terus bikin film panjang.” Punya pikiran seperti itu sebetulnya sah-sah saja. Namun pemikiran ini juga yang menjerumuskan film pendek ke dalam pemaknaan film panjang yang dipendekkan. Hilangnya kesadaran akan potensi durasi ini, menyebabkan miskonsepsi secara formal film pendek kerap dipandang harus memakai pakem yang sama dengan film panjang.
Meskipun, sempat ada angin segar bagi film pendek ketika Tilik (2018) sempat booming dan menjadi perbincangan banyak orang. Namun, fenomena kebudayaan seperti ini sangat jarang ditemukan, ibarat oasis di padang pasir. Di samping itu semua, kenyataan film pendek terbebas dari tuntutan pasar justru membuat film pendek memiliki kapasitas sebagai praktik kultural yang baik untuk menyampaikan gagasan dan ide secara utuh. Film pendek sebetulnya medium yang paling akrab dan paling ramah biaya untuk diproduksi oleh siapapun. Yang dibutuhkan adalah kanal distribusi yang memperlakukan film pendek dengan baik. Bukan kanal yang memperlakukan film pendek sebagai medium kelas dua—setelah film panjang.
Kehadiran festival, layar tancap, dan ruang pemutaran alternatif pun menjadi ruang dan model distribusi yang paling mungkin untuk medium ini. Bagaimanapun, film pendek akan selalu tumbuh meski di lingkungan yang mengalami degradasi. Seperti jamur, ia akan terus bermunculan dan menjadi opsi alternatif dari kemonotonan, repetisi dan juga menjadi pelarian dari dunia kapitalis modern yang secara sublim mendikte dan mengkotak-kotakan apa “yang baik” untuk kita konsumsi.
Discussion about this post