Sejak kecil, Elin (23 tahun) sudah menonton film lewat televisi dan DVD, tapi ia hanya menikmati visual dan ekspresinya. Baru pada 2016, setelah ia beranjak remaja, ia pergi ke bioskop untuk menonton film produksi luar negeri – dan hanya film luar negeri.
Ada alasan bagus kenapa Elin hanya menonton film produksi luar negeri. Ia seorang Tuli, dan film Indonesia belum tentu ada takarir (subtitle)-nya. Menonton film memang dipandang sekadar sebagai hiburan, sehingga kita lupa ada perjuangan di baliknya. Ada asumsi yang salah tentang komunitas Tuli dan disabilitas netra bahwa mereka tidak bisa atau bahkan tidak suka menonton film. Padahal nyatanya, mereka juga penonton film, mulai dari di TV, smartphone, dan juga ke bioskop. Oleh karenanya ruang menonton yang inklusif harus terus diupayakan. Kenyataannya, di industri film Indonesia kebutuhan atas takarir hanya dipahami sebatas untuk penerjemahan saja.
Belum banyak yang menyadari kalau takarir juga juga bagian dari upaya untuk membuat film menjadi lebih inklusif dan aksesibel. Aktivisme atau advokasi untuk menghadirkan takarir untuk orang Tuli atau Subtitles for the Deaf and Hard of Hearing (SDH) terus digalakan di dalam tubuh komunitas Tuli itu sendiri.
Hal yang membedakan takarir pada umumnya dengan SDH adalah, selain menyampaikan informasi dialog seperti takarir pada umumnya, teks SDH juga memberikan informasi bunyi-bunyian (audio). Semisal “suara hujan”, “suara mobil datang”, atau “suara teriak dari jauh” yang memberi konteks penting dalam cerita filmnya.
Ketika saya berkenalan dengan Elin di Yayasan Kino Media (Minikino), Elin bercerita lebih jauh tentang suka-duka teman-teman Tuli memperjuangkan hak atas SDH. Elin misalnya bercerita kalau teman-teman Tuli di Jakarta mengadvokasi film Indonesia supaya ada SDH–nya. Pada 2018, misalnya, komunitas Tuli secara khusus meminta SDH untuk film Dilan dan Dua Garis Biru. Terkini, komunitas Tuli di Jakarta meminta Rumah Produksi Falcon menyediakan takarir untuk film Miracle in Cell No. 7 (2022).
Selain orang Tuli, orang disabilitas netra juga butuh jembatan untuk memahami film melalui Audio Description (AD). AD adalah narasi audio yang mendeskripsikan adegan juga informasi film dan video yang relevan. AD mengasumsikan bahwa penonton tidak dapat melihat elemen visual utama, sehingga biasanya AD dibuat langsung bersama pembuat film dan diskusi langsung bersama orang disabilitas netra langsung agar narasinya tepat dan tidak melenceng.
AD juga menyesuaikan dengan realita disabilitas netra. Misalnya, dalam AD, orang dengan disabilitas netra tidak butuh deskripsi warna dan juga deskripsi yang terlalu padat. Bila apa yang terlihat di gambar ialah ”seorang perempuan menggunakan baju hijau duduk di pinggir pantai”, dalam AD bisa dipersingkat: “seorang perempuan duduk di pinggir pantai,” karena deskripsi warna tidak terlalu penting bagi orang disabilitas netra.
AD dianggap lebih baik secara teknis daripada metode bioskop bisik. Dalam metode tersebut, seorang relawan akan membisikkan adegan-adegan dalam film kepada penonton yang disabilitas netra. Bioskop bisik memiliki kekuatan membangun hubungan sosial, awal persahabatan antara orang disabilitas netra dengan orang awas yang sama-sama memiliki minat menonton film. Tetapi, metode bioskop bisik memiliki beberapa kelemahan. Selain memerlukan relawan dengan jumlah memadai, deskripsi adegan belum tentu sesuai dengan maksud pembuat film, sehingga dikhawatirkan maksud dari filmnya malah melenceng. Penyampaian antara satu relawan dengan yang lain juga bisa saja berbeda dan mengubah nuansa film. Dengan AD, pengalaman menonton film bisa makin menyenangkan tanpa mengubah kualitas film yang dibuat oleh pembuatnya.
Memang dalam perkembangannya, bioskop bisik juga menggunakan alat bantu berupa audio transmitter. Dengan alat ini pembisiknya bisa satu orang, sementara alatnya dipasang di telinga penonton dengan disabilitas netra dengan volume dan frekuensi yang telah diatur. Hanya saja audio transmitter ini digunakan terbatas. Karena pada dasarnya misi kegiatan bioskop bisik adalah agar disabilitas netra bisa menikmati film dengan lebih baik bersama relawan bisik secara inklusif.
Sehingga bioskop bisik masih tetap relevan. Dalam hal relasi sosial, bioskop bisik bisa menciptakan ruang agar orang dengan disabilitas netra bisa bertemu dengan orang awas. Hubungan antara relawan pembisik dan orang disabilitas netra bisa menciptakan pertemuan hingga pertemanan yang lebih intim. Sehingga orang dengan disabilitas netra tidak lagi invisible di tataran sosial.
Sebagai festival film pendek internasional, kesadaran-kesadaran ini mendorong Minikino untuk terus berupaya membangun ruang menonton yang lebih inklusif.
Setiap tahunnya, kami menerima ribuan film pendek dari berbagai negara. Tidak lupa di mana bumi dipijak, agar bisa dinikmati oleh seluruh penonton Indonesia, Minikino selalu membuat takarir Bahasa Indonesia. Karena dengan begitu, pertukaran pengetahuan dan budaya dapat terjadi ketika takarir ada untuk menjembatani.
Sejak tahun 2019, Minikino juga secara aktif membuat SDH untuk beberapa pemutaran khusus agar orang Tuli dapat ikut menonton film. Dan sejak tahun 2020, Minikino telah berkolaborasi dengan beberapa produksi film pendek fiksi dan dokumenter Indonesia, untuk menerbitkan kembali film dengan AD yang memberi akses bagi disabilitas netra.
Artivisme dari film pendek Where the Wild Frangipanis Grow
Dalam proses produksinya, Minikino Studio selalu melibatkan orang Tuli dan disabilitas netra untuk membantu dan memberi masukan. Salah satunya adalah pembubuhan AD dalam film pendek Where the Wild Frangipanis Grow (2023) karya Ida Bagus Nirartha Bas Diwangkara. Sebuah film pendek tentang kekerasan seksual yang diproduksi oleh Film Sarad, dan didukung oleh Yayasan Kino Media (Minikino) dengan pendanaan dari Voice Global dalam program artivisme.
Yayasan Kino Media terlibat dalam program artivisme dengan semangat membawa film ini menjadi alat kampanye untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Terutama membawa kesadaran bahwa pelecehan seksual memiliki banyak lapisan dan spektrum dan dapat terjadi tidak hanya pada perempuan, namun juga pada laki-laki, terutama pada anak laki-laki yang rentan.
Pada 4 Mei 2023, Minikino mengajak Iwan Cahyadi dan Jerry Juliawan dari komunitas Teratai untuk memberi masukan terhadap AD yang dibubuhkan di film. Komunitas Teratai adalah komunitas disabilitas netra yang aktif untuk mendukung orang-orang di komunitasnya agar bisa berkarya dan swasembada.
Saat Where the Wild Frangipanis Grow yang sudah disematkan AD dipertontonkan pada Iwan dan Jerry, mereka memberi masukan agar suara di AD jangan terlalu padat mendeskripsikan apa yang terlihat. Misalnya Iwan memberi masukan, “saya mau dengerin suara back sound kayak air mengalir, supaya kita bisa berimajinasi, ‘Oh sedang di sungai.’” Lalu Jerry menambahkan, “Mungkin nggak semua harus dijelaskan yang ada di layar itu. Biar diberikan celah untuk imajinasi.”
Membubuhkan AD dan juga SDH pada film pendek Where the Wild Frangipanis Grow menjadi penting karena isu yang diangkat dalam film tersebut adalah isu kekerasan seksual yang bisa menimpa siapa saja. Ketika saya berbincang dengan Nirartha, film pendek Where the Wild Frangipanis Grow sendiri berangkat dari kegelisahan Nirartha sebagai sutradara karena dua alasan. Pertama, Nirartha sebagai orang yang lahir dari keluarga pendeta sering merasa resah, kenapa segala ajaran yang baik agar menjadi orang suci, kerap kali bertolak belakang dengan apa yang dia hadapi. Kedua, kegelisahan itu kian menjadi jadi ketika banyak berita yang mengangkat isu sulinggih (pendeta) melakukan kekerasan seksual kepada umatnya.
Nirartha sendiri sadar jika film ini bisa dijadikan alat edukasi bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun dan oleh siapapun, termasuk kawan-kawan disabilitas. Menurutnya “bahkan misalnya kalau korbannya laki-laki, itu biasanya sangat malu untuk cerita hal ini. Karena ada toxic masculinity.” Baginya kekerasan seksual tidak mengenal gender, tidak mengenal Tuli, atau disabilitas netra, semuanya tentang kuasa dan semua bisa kena. Sehingga Nirartha dan Minikino, menganggap penting untuk menemani film ini dengan AD dan SDH.
Untuk itu, film pendek Where the Wild Frangipanis Grow akan melakukan roadshow ke beberapa wilayah di Bali dan juga di luar Bali. Roadshow ini menjadi ajang pertemuan reflektif sekaligus upaya untuk terus terhubung dan belajar. Saat roadshow di Bali, tim kerja akan ditemani Juru Bahasa Isyarat Denpasar. Sehingga penonton Tuli dan disabilitas netra yang juga ikut diundang dalam pemutaran, bisa ikut terlibat dalam diskusi tentang isu kekerasan seksual juga selain sekedar menonton.
“Setiap wilayah atau kota memiliki keunikannya masing-masing, sehingga meski isu kekerasan seksual itu universal, tapi dia sangat kontekstual sesuai karakter budayanya,” ucap Nirartha. “Karena itulah kita butuh pertukaran informasi.”
Akses akan informasi dan pengetahuan tentang kekerasan seksual memang semestinya adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Meskipun pada kenyataannya pengetahuan ini menjadi privilese beberapa orang saja yang memiliki akses terhadapnya. Perjuangan atas aksesibilitas seperti pembubuhan takarir, SDH, AD yang dilakukan oleh Minikino pada film-film pendek, merupakan langkah kecil untuk membuka jalan agar percakapan-percakapan ini bisa dijalani setiap orang.
Discussion about this post