Saya, Cika, Inez dan Retno akhirnya sampai ke hari keberangkatan yang ditunggu-tunggu. Ini merupakan pengalaman pertama saya menggunakan paspor, membuat perjalanan ini terasa mendebarkan dan menyenangkan, penasaran bagaimana rasanya menginjakkan kaki pertama kali di luar wilayah Indonesia.
PERJALANAN KE THAILAND
Rencana perjalana n ini mulai disusun ketika kontak dengan pihak Thai Short Film Festival antar Cika (Fransiska Prihadi, Program Director Minikino) dan Sanchai (Sanchai Chotirosseranee, Deputy Director of Film Archive) dilakukan melalui
e-mail sejak November 2019. Komunikasi e-mail yang intensif berlangsung hingga tanggal 11 Desember 2019
, membahas mengenai jadwal aktivitas yang akan kami lakukan serta informasi mengenai penginapan dan akomodasi selama berada disana.
Komunikasi b
erlangsung lancar dan efektif. Selain berkomunikasi dengan Sanchai, Cika juga menghubungi Ursula (Ursula Tumiwa), salah satu Advisory board dari MFW 5 yang rencananya akan bergabung setibanya kami di Thailand.
Kami berangkat dari bandara Ngurah Rai Bali hari Sabtu, 14 Desember 2019 pukul 1 pagi, menuju bandara Don Mueang Bangkok. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 4 jam di udara. Kami sampai di Bangkok pukul 5 pagi dan langsung menuju tempat kami menginap di Bangkok. Kami berempat menggunakan bis dan BTS (Bangkok Mass Transit System) silih berganti.
HARI PERTAMA, BANGKOK
Pada hari pertama, kami masih menginap di Bangkok sebelum keesokan harinya berangkat ke Salaya. Hari ini kami sudah bertemu langsung dengan Ursula. Kami memiliki waktu seharian dan menyempatkan diri berkeliling-keliling di kota Bangkok.
Menurut saya, kota ini cukup mengagumkan. Kesan pertama saat saya sampai disini dan melihat sekeliling adalah “Bangkok sangat mirip dengan Jakarta, tetapi dengan versi yang lebih mewah”. Mungkin karena banyak gedung-gedung tinggi serta layanan transportasi publik yang cukup lengkap dan bagus. Pastinya semua hal ini tidak ada di Bali. Satu kesan dari Bangkok yang menempel di benak saya adalah jajanan pinggir jalannya yang enak-enak. Entah bumbu apa yang mereka pakai, semua rasanya selalu enak, padahal kita cuma memilih sembarangan saja. Walaupun ini baru hari pertama, saya sudah langsung jatuh cinta dengan Bangkok.
HARI KE DUA, SALAYA
Keesokannya pada hari Minggu, 15 Desember 2019 kami berangkat menuju Salaya. Sekitar jam 9 pagi kami sudah bersiap-siap dari hotel menuju halte bis menggunakan BTS. Sesuai dengan arahan dari Sanchai, kami menggunakan bis nomor 515 untuk menuju ke Salaya. Kurang lebih sekitar jam 10.50 kami menemukan bis yang dimaksud dan perjalanan memakan waktu kurang lebih 40 menit. Kami sampai di Salaya pukul 12.30 waktu setempat.
Di perjalanan, kami hanya mengobrol sebentar, karena tak berapa lama setelah bis berjalan beberapa dari kami memilih untuk tidur. Saya juga tertidur, tapi hanya sebentar. Rasanya sayang sudah jauh-jauh ke negeri orang tapi tidak melihat-lihat selama perjalanan.
Satu hal yang menarik perhatian dan membuat saya heran adalah banyaknya foto Raja Thailand di berbagai sudut. Di jalan, di restoran, di gedung pemerintahan, di gedung besar, dan di berbagai tempat lainnya. Tentu saja ini adalah hal yang baru untuk saya. Apakah semua negara dengan sistem pemerintahan monarki wajar melakukan hal ini? Entahlah.
THAI SHORT FILM & VIDEO FESTIVAL
Acara Thai Short Film Festival bertempat di Thai Film Archive, sebuah badan film arsip yang telah berdiri sejak tahun 1984 dan saat ini berada di bawah pengawasan Menteri Kebudayaan Thailand sejak tahun 2009. Thai Film Archive terdiri dari beberapa gedung yang isinya adalah arsip-arsip film, sesuai dengan nama gedung tersebut. Sesampainya disana kami langsung masuk ke gedung terdepan dan disambut oleh para petugas penyelenggara Thai Film Archive. Mereka memastikan kedatangan kami, apakah hanya untuk ke festival film saja, atau juga ingin melihat museum yang ada di Film Archive. Karena kami diundang langsung oleh Sanchai, kami langsung diarahkan menuju tempat berlangsungnya Thai Short Film Festival.
Tak lama kemudian kami sudah bertemu dengan Sanchai. Bersamanya juga hadir Koyo Yamashita (director of Image Forum Festival, Jepang), dan Park Sungho (Programmer S-Express 2019 Cambodia) yang sudah kami kenal di kesempatan lain sebelumnya. Kedatangan kami bertepatan dengan selesainya pemutaran di sesi pertama yaitu “Young Audience Program” yang diperuntukkan kepada penonton anak-anak. Hanya sedikit terlihat penonton yang hadir, mungkin sekitar 6-8 orang, itu pun terdiri dari satu rombongan orang-orang tua dan beberapa remaja. Selang 10 menit kemudian S-Express 2019 Myanmar mulai diputar sehingga setelah mengobrol sebentar kami langsung masuk ke ruang pemutaran untuk menonton.
Menurut peraturan, kami seharusnya menunjukkan tiket kepada penjaga agar bisa masuk, tetapi karena kami datang dengan akses khusus yang diberikan Sanchai, penjaga hanya menghitung jumlah kami dan langsung mempersilakan kami masuk sambil tersenyum hormat. Menyenangkan rasanya diperlakukan istimewa.
Pada kondisi normal, setiap penonton memerlukan tiket seperti festival pass. Tiket ini bisa didapatkan di gedung depan, lalu saat akan masuk ke ruang pemutaran tiket tersebut akan di-scan oleh panitia dari Thai Short Film Festival.
Kurang lebih ada 10 penonton di sesi pemutaran S-Express 2019 Myanmar, ini sudah termasuk saya, Cika, Ursula, Inez, dan Retno. Kebanyakan penonton berusia paruh baya dan tempat duduk favorit mereka adalah di kursi paling belakang. Ruang pemutaran yang kami masuki bernuansa seperti bioskop di Indonesia, dengan kursi empuk bernomor serta ada lubang untuk tempat menaruh minuman.
Kualitas pemutaran Thai Short Film Festival tergolong sangat baik. Diawali dengan bumper dari festival mereka yang unik dengan filosofi telur yang menjadi logo dari Thai Short Film Festival, barulah S-Express Myanmar diputar. Panitia festival bekerja dengan profesional. Walaupun jumlah panitia terlihat hanya beberapa orang saja, tapi acara berjalan lancar dan mereka dengan sigap menyediakan semua fasilitas yang diperlukan.
BERKELILING DI THAI FILM ARCHIVE
Sementara yang lain meneruskan menonton, Cika meminta saya untuk menyempatkan berkeliling melihat-lihat sekitar area Thai Film Archive bersama Inez. Setelah memastikan pada Sanchai, gedung mana saja yang bisa kami masuki, saya dan Inez pun berjalan-jalan mengeksplorasi sekeliling dan melihat apa saja yang ada di setiap gedung di Thai Film Archive ini.
Saya dan Inez memilih masuk ke gedung bertuliskan Kinetoscope Parlor. Disana terlihat berjejer alat pemutar film kuno berbentuk kotak besar setinggi 1 meter. Cara menontonnya adalah dengan mengintip pada lubang intip yang ada di atas alat tersebut. Film masih diputar menggunakan rol film dengan sistem yang kuno, tetapi terasa sangat rapi dan terlihat rumit. Selain kotak ajaib itu, masih banyak benda klasik lainnya seperti piringan hitam, telepon jaman dahulu, arsip-arsip teknologi awal dari gambar bergerak dan lainnya. Mereka masih menyimpan benda-benda tersebut dengan rapi dan terjaga kualitasnya. Untuk saya, ini sangat menakjubkan.
Setelah puas melihat Kinetoscope, saya dan Inez mulai memasuki ruangan yang lain, yaitu gedung dengan bentuk lokomotif uap yang klasik. Di dalamnya dibuat persis seperti kereta uap pada jaman dulu, lengkap dengan bilik-bilik kecilnya dan pintu geser. Setiap bilik berisi gambar-gambar yang menceritakan sejarah mengenai film, mulai dari film hitam-putih, rol film, kamera jaman dulu, segala jenis dokumentasi dan juga beberapa film yang diputar di televisi kecil disana. Sayang, tidak semua gedung dapat dimasuki karena ada beberapa gedung yang terkunci dan juga memberlakukan tiket masuk untuk dapat dieksplorasi.
MAKAN SIANG
Selesai kami berkeliling, bertepatan dengan selesainya sesi pemutaran S-Express Myanmar. Saat ini sudah waktunya untuk mencari makan siang. Kami pun berpencar untuk makan siang masing-masing.
Saya, Inez, Ursula, dan Retno mencari kedai makanan di sekitar tempat berlangsungnya festival. Sekitar 500 meter dari lokasi, barulah kami menemukan food court yang dekat dengan swalayan besar di Salaya. Cukup lama kami memutuskan ingin makan apa karena banyaknya pilihan yang tersedia dan hal ini menjadi lebih sulit lagi karena menu yang dipajang semua menggunakan huruf Thailand, tidak ada satupun menggunakan huruf latin. Kami terpaksa menebak-nebak makanan tersebut hanya dari gambar. Bertanya ke pedagangnya pun tidak banyak membantu karena mereka juga tidak bisa berbahasa inggris.
Akhirnya setelah agak lama kami mendapatkan makanan masing-masing. Saya dan Inez memilih menu yang sama, karena kami sama-sama rindu makan nasi. Selama di Bangkok yang kami makan hanya mi dan sesuatu yang pedas-pedas, perut kami butuh istirahat. Retno memesan mi dengan campuran ikan dengan bumbu khas Thailand. Sedangkan Ursula memesan makanan yang terlihat seperti rujak mangga. Kami memesan satu lagi makanan untuk dimakan bersama yaitu roti dengan selai pandan. Rasanya sudah pasti enak semua, seperti biasa. Setelah puas makan dan saling cicip makanan satu sama lain, akhirnya Saya dan Inez kembali ke lokasi festival, sedangkan Retno dan Ursula melanjutkan waktunya dengan berjalan-jalan ke swalayan.
Belakangan, saya sadar bahwa tindakan ini kurang tepat dilakukan, mengingat festival memiliki jadwal acara yang mepet. Hasilnya, saya ketinggalan sesi S-Express 2019 Cambodia dan diskusinya bersama programmer yang seharusnya menjadi tugas investigasi saya.
S-EXPRESS 2019 KAMBOJA
Pemutaran S-Express 2019 Cambodia dimulai jam 14:00. Hanya Cika yang berada di dalam ruangan mengikuti sesi tersebut. Saya hanya sempat mendengarkan sebagian Q&A dari programmer Park Sungho. Ia banyak bercerita bagaimana misinya menumbuhkan budaya menonton di Kamboja melalui program yang disusunnya.
Sungho juga bercerita mengenai trauma yang terjadi pada orang-orang Kamboja karena hal-hal yang terjadi di negara mereka. Sungho, yang berasal dari Korea, membandingkan bahwa di Korea sendiri hal-hal traumatis yang telah terjadi dapat dikemas menjadi komedi dan ditertawakan, serta menganggap semua itu sebagai bahan bercanda, sehingga perlahan-lahan trauma tersebut mulai hilang. Sungho ingin membawa pola pikir ini ke dalam masyarakat Kamboja, agar selain menumbuhkan budaya menonton, mereka pun juga dapat berdamai dengan trauma yang telah mengendap dalam diri mereka.
Selain itu Sungho juga bercerita bahwa di Kamboja sudah mulai banyak pemutaran-pemutaran kecil diadakan dan kebanyakan orang Kamboja senang menonton jika pemutaran tersebut sifatnya gratis. Sungho juga mengatakan bahwa tidak ada sekolah film di Kamboja, yang akhirnya membuat Sungho tergerak untuk mengadakan pelatihan untuk anak-anak Kamboja, terutama yang memiliki minat terhadap film. Hal ini sudah mendapatkan hasil yang cukup baik yaitu beberapa film panjang hasil produksi dari anak-anak yang diajar oleh Sungho telah ditayangkan di berbagai tempat di Kamboja dan mendapatkan respon yang baik di masyarakat.
Diskusi ini dipandu langsung oleh Sanchai, dan sepertinya melebihi dari waktu yang disediakan. Orang-orang yang hadir mengikuti diskusi terlihat antusias mendengarkan pemaparan dari Sungho. Kurang lebih ada 8 orang yang hadir dalam ruangan tersebut. Suasana terasa menyenangkan dan sangat mengalir, karena tanpa sadar waktu telah berlalu dan para penonton masih antusias untuk mendengarkan pemaparan dari Sungho.
S-EXPRESS 2019 INDONESIA
Selepas diskusi dengan Sungho, selang 10 menit kami masuk kembali ke ruang pemutaran untuk menonton S-Express 2019 Indonesia. Sama seperti S-Express Cambodia, di akhir sesi ada Q&A bersama Cika mengenai programnya selama 15 menit. Penonton yang hadir sekitar 11 orang.
Sesi Q&A mengenai S-Express 2019 Indonesia dibuka oleh Sanchai dengan mengundang Cika ke depan untuk menjelaskan sedikit latar belakang proses penyusunan program. Cika menjelaskan bahwa melalui program tahun ini ia ingin menunjukkan keberagaman. Tujuh film pendek Indonesia yang memiliki gayanya masing-masing menampilkan keberagaman ini. Film pertama dengan judul tergila-gila, menyiratkan kehidupan di Bali terikat kasta yang melekat pada diri dan keluarga si tokoh utama. Atau di film muslimah yang menunjukkan dua sisi berbeda dari dua orang ibu dalam menanggapi seorang perempuan dengan hijabnya.
Diskusi ini mendapatkan respon dari salah satu penonton yang berkomentar tentang film One Of Those Murder. Ia merasakan bahwa kenyataan yang terjadi pada masyarakat kita kurang lebih sama seperti film tersebut, yang hanya peduli pada dirinya sendiri dan memasukkan semua hal ke media sosial padahal ada sebuah musibah yang sedang terjadi di depan matanya.
Koyo yang hadir dalam sesi ini juga bertanya kepada Cika mengenai apa persamaan tipikal yang dia temukan dari film-film di Indonesia dibandingkan dengan film-film dari S-Express Negara lain. Cika menyatakan bahwa Indonesia masih mencoba berusaha mengeksplorasi medium dari film pendek itu sendiri sehingga tipe film yang ditampilkan pun bermacam-macam sehingga penting untuk memberikan kesempatan kepada film-film ini untuk bisa ditampilkan di layar dan ditonton banyak orang agar kita bisa tahu kesan apa yang ia dapatkan dari film-film Indonesia tersebut. Diskusi kali ini berakhir tepat waktu dan penonton juga memperhatikan jalannya diskusi dengan baik.
ASTRO A-LIST
Setelah itu masih ada sesi pemutaran terakhir yaitu dari “Astro A-List 10 Short Films: LOVE”. Saya dan Retno tinggal dalam ruangan untuk mengikuti sesi ini, yang dimulai dari jam 18.30 hingga jam 21.00. film-film yang diputar adalah film yang dipilih oleh Astro, sebuah perusahaan TV Kabel yang menayangkan beberapa film pendek di saluran mereka dan memberikan dana kepada film-film yang terpilih. Ada sekitar 10 film yang dipilih masuk untuk ditayangkan di Astro. Film-film ini berasal dari beberapa Negara di Asia Tenggara. Penonton yang hadir menonton sesi ini sekitar 12 orang termasuk para panitia yang juga ikut menonton. Film demi film diputar tanpa jeda dan terlihat beberapa penonton keluar-masuk ruangan, mungkin ingin ke kamar mandi atau sekedar ingin berdiri sebentar di luar karena telah duduk dalam waktu yang lama.
Astro merupakan pemutaran terakhir di hari kedua Thai Short Film Festival. Setelah pemutaran selesai, saya dan Retno secara khusus dijemput Sanchai dan diantarkan ke penginapan yang telah disediakan di area festival. Keesokan harinya sekitar jam 9 pagi, setelah sarapan kami pun bersiap-siap untuk kembali ke Bangkok menggunakan bis yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit.
PERJALANAN KEMBALI DAN REFLEKSI
Kami meninggalkan Thailand pada hari Selasa, 17 Desember 2019 jam 8 pagi. Kami ke bandara memakai grab. Untungnya hari itu tidak macet dan cuacanya cerah. Jadwal penerbangan pukul 11 dan akhirnya mendarat di di Airport Ngurah Rai, Denpasar pada pukul 5 sore.
Dalam perjalanan ini, saya belajar lebih bijak dalam memperkirakan waktu. Apalagi ketika berada di daerah yang tidak kita kenal. Jika festival memiliki jadwal waktu yang sempit namun ada keperluan makan siang, alangkah baiknya mencari tempat terdekat. Mungkin seharusnya saya mengganjal perut saja dengan makanan yang ada di sekitar venue festival waktu itu, sehingga kejadian ketinggalan sesi menonton dapat diminimalisir atau bahkan tidak perlu terjadi sama sekali.
Melihat potensi gedung dan fasilitas Thai Archive di Salaya, ada beberapa ide untuk kerjasama lebih lanjut yang bisa dijalankan sebagai kegiatan antar organisasi dengan Minikino. Tentu yang menjadi tantangan adalah mengurus ijin dengan pihak Thai Film Archive yang merupakan badan pemerintahan. Mungkin artinya ada dokumen-dokumen tertentu yang perlu disiapkan bersama pemerintah Indonesia juga. Perlu juga untuk membuat MoU dan SOP yang jelas antara kedua belah pihak agar semua dapat diatur dengan baik. Hal ini yang harus ditanyakan dengan lebih detail ke pihak Thai Film Archive.
Saffira Nusa Dewi, Denpasar, 28 Desember 2019.