Minikino bersama Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) Cabang Bali menggelar acara Belajar Bahasa Isyarat, Mulai Dari Mana? pada hari Sabtu, 11 Maret 2023 di MASH Denpasar. Terselenggaranya acara ini merupakan bagian dari dukungan event strategis Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Acara ini bertujuan untuk mengenal budaya Tuli lebih jauh dan mempelajari Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) Area Denpasar sebagai alat komunikasi antara Tuli dan Dengar untuk tercipta ruang yang semakin inklusif.
Acara dibuka oleh direktur program Minikino, Fransiska Prihadi yang akrab disapa Cika, dengan menjelaskan tentang hubungan film dengan aksesibilitas. “Siapa yang merasa terbantu oleh subtitle kalau nonton film?” tanya Cika pada para peserta. Pertanyaan disambut oleh acungan tangan dari para peserta. Menurut Cika untuk membangun sinema yang inklusif, diperlukan kolaborasi bersama komunitas disabilitas untuk membuka akses selebar-lebarnya, termasuk dengan Closed Caption (untuk Tuli) dan Audio Description (untuk Tunet).
Setelah dibuka oleh Cika, selanjutnya acara memasuki pelajaran singkat dari I Putu Jaya Utama, Guru Pusbisindo Cabang Bali. Utama mengajarkan kata-kata dasar dalam bahasa isyarat tentang hubungan antar manusia, seperti: teman, pacar, dan sebagainya. Peserta dalam sesi ini tampak antusias mengikuti apa yang diajarkan oleh Utama. Pelajaran singkat ini menjadi pembuka yang baik untuk mengenal budaya Tuli. Karena seperti yang dikatakan oleh aktivis dan Humas Pusbisindo, Ade Wirawan dalam sesi selanjutnya, Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat adalah sesuatu yang terkait.
Dalam sesi pengenalan Budaya Tuli, Ade membuka sesi dengan mengajukan pertanyaan seperti, Apakah bahasa isyarat di seluruh dunia itu sama? Hal ini tidaklah banyak diketahui oleh orang-orang dengar secara umum. “Bahasa isyarat di dunia ini tidak bisa disamakan.” Jelas Ade melalui Juru Bahasa Isyarat (JBI). Misalnya, Ade mencontohkan bahasa isyarat di Jakarta, Makassar, Parepare, Bahasa Kolok dari Bali Utara itu punya bahasa isyaratnya sendiri. Bahasa isyarat bukanlah sesuatu yang universal karena selalu terikat dengan budaya Tuli di suatu wilayah tertentu.
Ade juga menjelaskan ada banyak miskonsepsi di masyarakat tentang Alat Bantu Dengar (ABD). Tuli pada dasarnya mengandalkan visual dan gerakan untuk berkomunikasi, sehingga penggunaan ABD sebetulnya tidak selalu bisa menjadi solusi. Ade bercerita ia pernah menggunakan ABD, namun merasa kesakitan karena desibel yang dikeluarkan oleh ABDnya tidak cocok.
Budaya Tuli di Indonesia sendiri sudah ada sejak 1933. Namun pembakuan nama bahasa Isyarat menjadi Bahasa Isyarat Indonesia baru dimulai awal tahun 2000an. Salah satu ciri khas Budaya Tuli dalam adalah pemberian nama panggilan isyarat. Nama ini hanya dapat diberikan oleh orang Tuli.
Setelah sesi pengenalan Bahasa dan Budaya Tuli. Yunda Manik sebagai Ketua Bali Deaf Community (BDC) menceritakan pengalaman hidupnya sebagai Tuli hingga saat ini ia bekerja sebagai Admin Support di Kunang Jewelry. Yunda juga menjelaskan kenapa penting bagi Tuli untuk berkomunitas dan terhubung dengan orang lain. Melalui BDC, Yunda aktif melakukan kegiatan sosial.
Ario Seno, salah satu peserta acara ini, bercerita jika ia memiliki anak Tuli. Ia juga menanyakan kepada Yunda bagaimana agar anaknya bisa mulai bergaul dan bagaimana biasanya BDC berkegiatan. “Biasanya kegiatan-kegiatan BDC ada belajar bersama dengan anak-anak, kemudian dapat informasi juga dari seminar dan nongkrong-nongkrong biasa. Jadi kegiatan seperti itu untuk bisa mengembangkan diri. Jangan sering-sering stres,” jawab Yunda melalui JBI.
Membangun Budaya Inklusif
“Semua orang berhak menikmati tontonannya”, ujar Cika. Aktivisme di belakang motivasi Minikino bekerjasama dengan Pusbisindo adalah untuk memperjuangkan hak kesetaraan untuk menikmati karya audio visual, “minimal ada subtitle dan untuk kawan tunet bisa akses Audio Description”. Acara ini ditutup dengan penayangan film pendek berdurasi 8 menit 40 detik, @ITSDEKRAAA (2022) garapan sutradara I Made Suarbawa. Film pendek ini menceritakan tentang sekelompok remaja perempuan di pedesaan yang kehilangan teman mereka saat membuat Tiktok. Film pendek tersebut ditambahkan closed caption Bahasa Indonesia, sebuah subtitle yang memang diperuntukan spesifik untuk penonton Tuli.
Sebelum film dimulai, Suarbawa menyampaikan tentang kondisi perfilman kita yang tidak memperhatikan aspek-aspek inklusivitas. Menurutnya, kita perlu mendorong film-film di Indonesia juga bisa lebih inklusif. “Film Indonesia tidak ditonton oleh teman-teman Tuli karena subtitlenya bahasa Inggris, atau bahkan tidak ada subtitlenya, sedangkan film luar ada subtitle Indonesianya. Jadi temen Tuli kebanyakan nonton film luar,” keluh Suarbawa.
Dengan diputarnya film @ITSDEKRAAA acara pun berakhir, namun para peserta nampaknya masih antusias untuk berbincang mengenai Budaya Tuli dan Bahasa Isyarat. Halaman depan MASH Denpasar dipenuhi obrolan dan kisah problematika kehidupan dan Budaya Tuli. Rasyid Sabari, seorang pendamping Tuli dari Kudus misalnya bercerita tentang pengalamannya menemani teman-teman Tuli di Kudus. “Acara seperti ini harus dibuat lebih banyak lagi, supaya orang-orang tahu tiap daerah itu bahasanya beda, budayanya beda, dan problemnya pun beda. Kegiatan yang dilakukan oleh Tuli harus diangkat ke media supaya keberadaan mereka tidak dianggap invisible,” ungkap Rasyid.
Rasyid juga mengatakan jika kolaborasi seperti ini perlu dilakukan di banyak wilayah lain. Karena menurutnya kolaborasi antara orang dengar dan Tuli terutama di daerah, bisa mendorong pemahaman tentang Budaya Tuli lebih luas lagi. “Di daerah, banyak teman-teman Tuli benar-benar seperti hidup di dunia yang berbeda, mereka butuh interaksi,” ujar Rasyid.
Hal senada juga disampaikan oleh Ario Seno, seorang ayah dengan anak Tuli. “Kita (orang tua, orang dengar) haus akan informasi, kita miskin malah tentang informasi budaya Tuli ini. Bahkan kata ‘orang Tuli’, ‘orang dengar’ itu aja kita baru-baru ini taunya.” Bagi Ario akses terhadap informasi mengenai Budaya Tuli ini harus dibuka selebar-lebarnya. Oleh karenanya menurutnya kolaborasi dengan Pusbisindo mesti dilakukan oleh banyak komunitas. “Informasi ini harus menyentuh semuanya. Menyentuh orang yang punya anak kebutuhan khusus, menyentuh komunitas, atau bahkan menyentuh orang yang saat ini jadi penguasa,” pungkasnya.
Discussion about this post