Sedikit kembali ke dua tahun lalu, di mana pandemi merubah banyak kebiasaan kita dalam berinteraksi, komunikasi online semakin diterapkan di semua lini bisnis dan industri termasuk perfilman. Ruang-ruang pertemuan antara investor, apresiator, dan kreator perfilman seperti festival film harus merubah cara mereka mengolah ruang jejaring yang tadinya berwujud interaksi fisik, harus menjadi online. Pandemi yang diperkirakan akan terjadi sangat lama, hari ini nampaknya sudah mulai mereda dan beberapa festival film mencoba bangkit dengan menghidupkan program-program non-pemutaran untuk menjamin adanya stimulus baru terhadap ekosistem perfilman di Indonesia.
Keberadaan festival film dalam konteks Indonesia jelas sangat sentral, kondisi industri perfilman yang masih terasa sentralistik di Jakarta, seringkali dianggap kurang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan produksi di daerah lain. Festival film non-pemerintah setiap tahun berusaha menjawab kekurangan “supply” dari industri pusat terhadap pembuat film diluar Jakarta. Caranya, menjadi penghubung dengan mendatangkan para pelaku industri hingga distributor film untuk saling bertemu dan bertukar informasi di Festival Film.
Beberapa festival film di Indonesia seperti Minikino Film Week Bali International Short Film Festival (MFW), Jakarta Film Week (JFW), Festival Film Dokumenter (FFD), Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), adalah segelintir festival film yang sudah dianggap menjadi festival film penting di Indonesia karena jejaring Internasionalnya. Jejaring itulah yang coba dimaksimalkan oleh para penggerak festival untuk mempertemukan para pembuat film dan para investor melalui program-program publik mereka demi menyokong pertumbuhan industri kreatif di Indonesia.
Minikino Film Week 8 (MFW8), yang juga merupakan festival film yang hadir dari kebutuhan kolektif pegiat film di Bali, tahun ini menyajikan sebuah impromptu event (atau saya menyebutnya eksperimen unik) yaitu program Speed Date pada tanggal 5 September 2022, di Double Bee Cafe, Denpasar. Program ini semacam pitching forum namun lebih terbuka dari yang pernah saya alami sebelumnya.
Karena penasaran saya pun mencoba untuk mengikutinya, semula tanpa persiapan bahkan saya tidak membawa pitch deck dan trailer yang biasa saya bawa kala mengikuti pitching forum lainnya. Persiapan itu penting, karena pada dasarnya pitching merupakan sebuah kesempatan untuk membujuk investor atau calon investor untuk mau berinvestasi di film kita. Dan cara membujuk yang dianggap paling ampuh adalah dengan menampilkan trailer, juga pitch deck tentang ide, konsep, timeline produksi, hingga bayangan anggaran untuk kita tampilkan sembari kita melakukan presentasi di depan calon investor.
Namun ternyata tujuan dari program ini tidak muluk-muluk. Justru program ini sesederhana memancing perkenalan, dan jejaring. Program Speed Date mencoba untuk melihat kemungkinan adanya kerjasama diantara para filmmaker, dan investor melalui pertemuan singkat yang tidak lebih dari 10 menit. Program pitching yang cukup terbuka ini tentu tidak lepas dari karakteristik MFW8 yang selalu ingin agar para pengunjung, partisipan, dan filmmaker yang hadir setiap tahun menemukan opportunity sepanjang festival berlangsung.
Saya sendiri mencoba untuk pitching dua hal penting yang sedang saya kerjakan saat ini: produksi film dokumenter panjang kepada Gugi Gumilang (In-Docs), serta Jesper Jack (NYTimes Op-Docs), dan proyek pengarsipan film serta public library JAFF salah satunya kepada Leong Puiyee, yang merupakan International Jury MFW8 dan Senior Manager di Objectifs Films. Topik yang saya perbincangkan dengan mereka tersebut, tidak saya lengkapi dengan proposal atau trailer. Namun semuanya seolah mengalir melalui obrolan biasa, dan canda-tawa selayaknya mengobrol santai di cafe. Namun justru karena suasana santai yang ditimbulkan dari lokasi itulah yang membuat kita saling menikmati obrolan.
Setelah acara selesai, saya sempat mencuri obrolan dengan Edo Wulia selaku Direktur Festival, dan Rayhan Dharmawan selaku koordinator Short Film Market ini, tentang apa sebenarnya yang diharapkan dari program ini. Ternyata, “saling berkenalan satu sama lain” adalah output yang diharapkan. Memang, setelah acara selesai, tidak lama kemudian Gugi meninggalkan Bali lebih dulu, bersama dengan Puiyee keesokan harinya. Namun justru melalui pertemuan singkat tersebut, setelah festival selesai saya masih sering berkabar dengan Gugi dan Puiyee tentang kemungkinan kerjasama dan rencana pertemuan online.
Speed Date mungkin merupakan percobaan yang cukup nyeleneh bagi saya yang biasa melakukan pitching formal. Namun justru dari percobaan yang nyeleneh itu saya bisa mengerti bahwa terkadang program seperti ini dibutuhkan untuk memaksimalkan “potensi” pertemuan yang terjadi di festival. Speed Date telah menyetarakan kedudukan antara para penyokong industri, dengan kita penikmat dan para pembuat film. Serta juga menumbuhkan kesadaran bagi para pembuat film lokal untuk saling berjejaring dengan kawan-kawan di dalam dan luar negeri. Karena seidealis apapun sebuah film pada akhirnya ia membutuhkan kerja kolaborasi. Sehingga persahabatan dapat terjalin, dan kemungkinan kolaborasi dapat terjamin.
Discussion about this post