“What if we build our communities around places?” kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai “Apa jadinya bila kita membangun komunitas di sekitar lokasi?”. Ini adalah pertanyaan yang mendasari lahirnya placemaking, sebuah konsep pendekatan dalam perancangan pembangunan suatu wilayah yang berfokus pada pemanfaatan ruang-ruang publik yang telah ada dengan memperhatikan unsur sosial dan budaya masyarakat yang mengelilinginya. Bertujuan untuk meningkatkan kualitas ruang (spaces) yang mendukung interaksi sosial, aktivitas, dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan placemaking dilakukan dengan mengamati, mendengarkan, dan mengajukan pertanyaan kepada orang-orang yang tinggal, bekerja, dan bermain di ruang tertentu untuk memahami kebutuhan dan aspirasi mereka untuk ruang itu dan komunitas mereka secara keseluruhan.
Saya tertarik untuk melihat pendekatan placemaking dalam upaya Minikino mengaktivasi dan menyebarkan akses budaya sinema ke berbagai desa di Pulau Bali. Salah satunya melalui konsep Pop Up Cinema yang setiap tahun menjadi bagian Minikino Film Week. Pop Up Cinema dirancang tidak hanya difungsikan sebagai kegiatan layar tancap ataupun sebagai tontonan saja, namun juga sebagai bentuk pembukaan akses terhadap edukasi dan literasi film itu sendiri. Fungsi ini direalisasikan melalui pengadaan lokakarya (workshop) filmmaking yang selalu menjadi bagian dari Pop Up Cinema di setiap desa yang disambangi. Lokakarya ini mengajak dan memfasilitasi masyarakat desa dari segala umur yang tertarik belajar tentang film. Di sisi lain, proses perencanaan program ini juga melibatkan warga di desa untuk berkolaborasi mengaktivasi ruang-ruang publik di tiap desa sebagai lokasi kegiatannya.
Terma Pop Up Cinema ini kemudian berkembang lebih dari sekadar judul program dalam festival, menjadi sebuah semangat, konsep, dan gerakkan yang juga diadakan di luar rangkaian utama festival. Salah satunya dalam agenda rangkaian MFW9 Post Festival Roadshow yang diadakan pada hari Sabtu, 11 November 2023 (dua bulan seusai gelaran festival Minikino Film Week 9) di Desa Les, Buleleng yang berada di utara Pulau Bali. Rangkaian kegiatan ini diselenggarakan di Mai Nongki, sebuah ruang nongkrong yang dibuat dengan memanfaatkan halaman belakang rumah pemiliknya. Realisasi kegiatan roadshow ini dibantu oleh salah seorang representatif dari Desa Les, yakni Nyoman Nadiana atau akrab disapa Don Rare, salah satu pegiat wisata yang mengembangkan Desa Les sebagai sebuah destinasi wisata yang menawarkan tak hanya keindahan alam, namun juga gaya hidup masyarakat di Desa Les.
Lokakarya: Mengamati dan Mendengar
Sabtu sore itu, di tengah rimbun pohon dan suasana cerah, agenda kegiatan dimulai dengan lokakarya yang diikuti oleh siswa-siswi dari Smekensa Digital Publication (SDP), sebuah unit kegiatan pelajar dari SMK Negeri 1 Tejakula. Materi lokakarya yang membahas seputar literasi film sebagai medium penceritaan audio-visual, dibawakan oleh I Made Suarbawa atau akrab dipanggil Birus selaku MFW9 Travelling Festival Director.
Birus membawakan materi lokakarya dengan metode interaktif. Ia mengajak peserta untuk aktif berpartisipasi dan menjadikannya sebagai bagian atau alat penyampaian materi. “Mungkin saya tidak akan memiliki hal untuk dicatat sebenarnya hari ini. Tapi kita akan merasakan, mengalami. Itu yang ingin kita coba.”, ucapnya di awal sesi. Ia memulai dengan mengajak peserta untuk masing-masing mencari sebuah foto dari galeri gawai mereka, lalu menceritakan kembali fotonya kepada yang lain. Setelah itu, Birus meminta mereka untuk menggabungkan foto tersebut dengan foto teman-teman mereka yang lain. Untuk disusun dan dirangkai hingga menciptakan sebuah cerita baru—layaknya proses editing. Kemudian, mereka akan kembali menceritakannya di depan yang lain.
Metode mengenalkan proses editing secara sederhana ini menghasilkan berbagai cerita yang beragam dari para peserta. Ada yang maju dengan cerita-cerita naratif dan memiliki hubungan kausalitas, ada yang mampu menambahkan konteks latar belakang cerita di luar apa yang terlihat dalam foto, adapun yang menggabungkan foto-foto berdasarkan sebuah makna yang terbentuk dari masing-masing foto. “Saya mencoba berbagi bagaimana kita merasakan satu gambar ada ceritanya. Ketika dua gambar, dia akan menimbulkan cerita baru. Ketika tiga gambar, akan bisa menceritakan sesuatu yang baru lagi”, simpulnya di akhir.

Birus kemudian melanjutkan sesi dengan mengenalkan konsep suara yang juga tak kalah penting dalam proses kreasi film. Pengenalan ini dimulai dengan menanyakan pengalaman personal para peserta dalam mendengarkan atau merekam suara. Sesi lalu dilanjutkan dengan Birus yang kembali meminta peserta untuk berpasangan, kemudian meminta mereka untuk bercerita dan mendengarkan cerita satu sama lain secara bergantian. Setelah beberapa menit, Birus kembali meminta mereka maju ke depan untuk menceritakan apa yang mereka tangkap dari cerita pasangannya. Cara tersebut, digunakan Birus untuk menyampaikan bagaimana elemen suara juga bisa menjadi alat untuk bercerita dalam film. Peserta dilatih untuk mendengarkan informasi dari suara, dan mengolah informasi tersebut menjadi ide yang dapat mendasari karya-karya baru.
Di akhir sesi lokakarya saat lembayung mulai mengambang di langit, Birus menutup sesi dengan menyimpulkan kembali apa-apa saja yang Ia ingin coba bagikan lewat aktivitas-aktivitas sebelumnya. Ia menekankan bahwa sebagai medium audio-visual, proses menemukan cerita dalam film juga memerlukan keinginan dan kepekaan dalam mengamati dan mendengar. “Bercerita, mendengar, menceritakan kembali. Itu prosesnya. Ketika kalian pengen bercerita tentang Desa Les, kalian nanya dulu Desa Les itu seperti apa.”
Sama halnya dengan inti materi dari lokakarya tersebut, metode interaktif yang Birus gunakan juga merupakan usaha Minikino dalam “mengamati” dan “mendengar”, dua aspek yang menjadi bagian dari pendekatan placemaking. Sifat metode interaktif yang dua arah, dipadukan dengan elemen-elemen personal seperti foto pribadi dan cerita sehari-hari, semakin membuat materi lokakarya menjadi fleksibel dan bisa diproses oleh para peserta dengan cara mereka masing-masing. Dari sana, lokakarya tidak terasa seperti lokakarya biasa, namun menjadi lokakarya (untuk) Desa Les. Sebuah lokakarya yang ingin mengamati dan mendengarkan aspirasi orang-orang yang tinggal di Desa Les dalam memandang film dan proses kreasinya.
Menonton Film a la Desa Les
Pemutaran program film pendek diadakan seusai sesi lokakarya. Lokasi pemutaran masih tepat berada di lokasi yang menjadi tempat lokakarya, yakni Mai Nongki. Nama Mai Nongki sendiri terinspirasi dari sapaan “mai ngopi” yang artinya “mari ngopi”, sebuah sapaan yang seringkali diucapkan antar tetangga dan warga di desa Les. Nama Mai Nongki kemudian berasal dari gabungan kata nongkrong, ngopi, dan diskusi. Dikelola oleh sepasang suami-istri, Ketut Madiawan dan Made Asrini, ruang Mai Nongki dibangun untuk merayakan kebersamaan di Desa Les, sekaligus sebagai bentuk respon atas keberadaan ruang temu di desa yang saat ini mulai terbatas.
Partisipasi dari masyarakat Desa Les juga hadir melalui keterlibatan sebagai anggota tim kerja rangkaian acara MFW9 Post Festival Roadshow. Beberapa mahasiswa dari Sekolah Tinggi Agama Hindu Negri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja ikut berperan dalam berbagai bidang seperti publikasi media sosial, dokumentasi foto, hingga registrasi. Di sisi lain, pemilihan film-film yang diputar juga melalui proses komunikasi dan konsultasi dengan Don Rare. Meskipun film-film yang diputar merupakan film yang memenangi penghargaan di Minikino Film Week 9, Minikino tetap memilih beberapa di antaranya dengan mempertimbangkan kesesuaian tema film dengan demografi penonton di Desa Les.
Film-film yang diputar dalam rangkaian roadshow di Desa Les, Buleleng antara lain: Trashtalk (Special Mention Begadang 2023, Rizqullah Panggabean, Indonesia, 2023), I Am Not Afraid! (MFW9 Best Children Short, Marita Mayer, Jerman & Norwegia, 2022), Blue Poetry (Peraih Hadiah Utama RWI Asia Pacifc Award at MFW9, Heri Fadli, Indonesia, 2023), Ponto Final (MFW9 Best Documentary Short, Miguel Lopez Beraza, Spanyol & Portugal, 2022), dan Bising (Film Terbaik Kompetisi Nasional MFW9, Amar Haikal, Indonesia, 2023).
Pengalaman menonton bersama di Mai Nongki menjadi pengalaman unik selain karena dilakukan di udara terbuka di kebun di antara pohon pisang, namun juga karena dibuka dengan sajian makanan-makanan khas Desa Les yang menemani selagi menonton. Suara latar gonggongan anjing dan ayam berkokok juga turut jadi ambiens yang melengkapi pengalaman sinematik saat menonton film di Desa Les.

Sesi pemutaran berakhir, kemudian disusul dengan sesi diskusi dan berbincang-bincang. Film Blue Poetry dan Trashtalk menjadi salah dua film yang kerap disebut saat penonton berbagi tentang film mana yang paling menarik dan berkesan. Hal ini rupanya dipengaruhi oleh kesesuaian isu yang dibawa dalam film dengan keseharian hidup masyarakat Desa Les, yakni seputar masalah sampah dan pengaruhnya terhadap ekosistem laut yang dominan menjadi sumber mata pencaharian di sana. Kemudian, Bising juga cukup menarik dan memberikan kesan yang kuat lewat pembawaan isu maskulinitas yang disajikan dengan elemen-elemen yang tak kalah maskulin dan cukup familiar di kalangan masyarakat Desa Les, seperti motor, bengkel, dan suara bising knalpot motor modifikasi.
Budaya menonton film bersama dan berbincang setelahnya, menjadi sebuah kekuatan atau daya tarik dari budaya sinema. Kekuatan inipun sejalan dengan visi dari Mai Nongki yang mengusahakan kembali ruang-ruang pertemuan antar masyarakat desa yang dirasa makin tergerus keberadaannya. Kegiatan-kegiatan seni seperti ini menjadi sebuah alternatif solusi yang merespon keresahan tersebut, dilakukan dengan memaksimalkan penggunaan ruang, menjadikannya tempat bertemu, berkumpul, dan berinteraksi, tak hanya bagi warga Desa Les saja, namun bagi warga sekitar Buleleng.
Pada akhirnya, rangkaian MFW9 Post Festival Roadshow ini sesungguhnya adalah sebuah bangunan karya kolektif antara Minikino dengan masyarakat Desa Les. Minikino sebagai penyedia akses (terhadap film pendek) tidak memposisikan diri mereka lebih tinggi dari masyarakat desa. Sebaliknya, Minikino tetap menjejak tanah dan menyadari bahwa upaya diseminasi ini perlu melibatkan kolaborasi dan partisipasi dari masyarakat akar rumput yang lebih mengenal lanskap sosial budaya tempat tinggal mereka sendiri, guna menghasilkan manfaat yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.
Discussion about this post