“Aduh buang sini aja deh, nanti juga ada yang bersihin.” Kalimat ini mungkin sudah pernah kita dengar, atau mungkin kita sendiri yang mengucapkannya. Padahal jarak untuk membuang sampah pada tempatnya tidak akan sejauh jarak tempuh Jakarta – Semarang. Namun, kalimat itu masih sering saya dengar hingga kini, saat kuliah film.
Saat pertama kali masuk kuliah, saya sering membayangkan seperti apa lingkungan yang tercipta saat memproduksi film, terutama ketika melibatkan banyak orang. Saat diskusi soal film pun, kita tidak terlepas dari sampah yang berserakan dan puntung rokok yang tidak dibuang pada tempatnya.
Memasuki tahun kedua kuliah, saya mulai mengalami masalah kesehatan. Saya pun jarang bisa ikut produksi film pendek. Saya mulai mengeksplorasi sinema melalui tulisan dan pemutaran film. Program magang sebagai Film Festival Writer di Minikino tahun 2024 ini adalah salah bentuknya. Dalam salah satu sesi yang menghadirkan pembicara tamu, saya berkesempatan untuk bertemu Lauma Kaudzīte, yang merupakan Direktur Pelaksana Short Film Conference, Koordinator Short European Pitch, Program Manager untuk Riga International Short Film Festival 2ANNAS, dan banyak lagi.
Lauma bercerita tentang awal karirnya di dunia perfilman; seperti memproduksi film dan mengikuti festival film secara gratis untuk menonton lebih banyak film pendek. Langkah pertama yang diambil Lauma adalah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan di suatu festival film pendek. Saat menjadi sukarelawan, Lauma melihat bahwa banyak filmmaker serta penyelenggara festival film pendek masih bersikap tak acuh terhadap keberlanjutan lingkungan.
Melalui Riga International Short Film Festival 2ANNAS bersama Short Film Conference, Lauma terlibat dalam pembuatan panduan ramah lingkungan bagi festival film yang bernama How To Be Green: A Guide For (Short) Film Festivals. Lauma menjelaskan bahwa panduan tersebut lahir dari kegelisahannya terhadap banyaknya festival film yang tidak memperhatikan dampak lingkungan sekitar.
How To Be Green: A Guide For Short Film Festivals berisi tips tentang cara melaksanakan, mengelola, dan menikmati festival film pendek sambil memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Panduan ini diharapkan dapat menjadi solusi yang membantu penyelenggara festival film pendek untuk lebih peduli terhadap lingkungan saat menyelenggarakan festival, serta mengingatkan bahwa setiap jenis usaha memiliki dampak terhadap lingkungan.
Panduan tersebut juga mencakup beberapa sumber tentang bagaimana filmmaker dapat turut serta dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Hal ini penting karena rasanya tidak bijak jika hanya fokus pada penyelenggara festival film, tetapi juga penting untuk memperhatikan bagaimana produksi film itu sendiri dapat berjalan dengan cara yang ramah lingkungan.
Korban dari Produksi Film
Dalam konteks Hollywood, kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan dalam produksi film memang sudah menjadi topik yang sering dibicarakan. Salah satunya adalah melalui Green Production Guide yang dikembangkan oleh Producers Guild of America Foundation dan PGA Green. Green Production Guide menyediakan rupa-rupa fitur yang memungkinkan pengguna untuk mengakses database vendor yang menawarkan alat syuting, kemasan makanan dan minuman yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
Dari riset yang dilakukan Sustainable Production Alliance berjudul Carbon Emissions of Film and TV Production di Amerika, faktor terbesar yang berkontribusi adalah konsumsi bahan bakar. Bahan bakar menyumbang persentase terbesar, yaitu 48% yang biasanya digunakan dalam kendaraan produksi dan genset untuk keperluan produksi.
Di Indonesia, kepedulian terhadap produksi film ramah lingkungan juga mulai diperhatikan oleh sutradara-sutradara film layar lebar melalui langkah-langkah praktis. Sebagai contoh, Ernest Prakasa dalam produksi film Imperfect (2019) memberikan seluruh kru dan pemain tumbler untuk menghindari minum dari air mineral kemasan, hal ini terinspirasi dari Riri Riza dan Mira Lesmana saat memproduksi film Bebas (2019) yang menerapkan ini terlebih dulu. Lalu, bagaimana dengan produksi film pendek?
Pengalaman Produksi Film Pendek Sebagai Mahasiswa Film
Sebagai seseorang yang pernah menjadi produser film pendek, saya belum ada di level memperhatikan lingkungan secara “serius”, apalagi menghitung seberapa besar dampak emisi karbon yang dihasilkan dari produksi film pendek yang saya buat. Sebagai orang yang terkena dampak langsung dari lingkungan, saya hanya bisa berangan-angan untuk memproduksi film lebih ramah lingkungan.
Salah satu konflik yang sering saya alami adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Saya seringkali memiliki keinginan untuk mewujudkan ide dengan maksimal, namun keterbatasan biaya menjadi kendala yang besar. Pertimbangan tentang kamera atau lampu mana yang terbaik untuk pengambilan gambar masih menjadi topik yang lebih menarik untuk dibicarakan kru. Berbagai properti sering kali terbuang sia-sia saat memilih mana yang paling cocok dalam frame, dan terkadang, banyak salinan naskah yang tidak sesuai pada fungsinya; seperti menjadi wadah gorengan.
Tak hanya itu, energi listrik yang terpakai untuk menerangi set saat pengambilan gambar, kebutuhan logistik seperti plastik kresek, jas hujan plastik, limbah makanan dan minuman yang menumpuk, hingga banyaknya kendaraan yang digunakan untuk mengangkut peralatan, kru, dan pemain ke lokasi, semuanya menjadi faktor yang juga mencemar lingkungan.
Lalu mengapa budaya mencemar ini tetap berjalan? Nyatanya, tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang merusak ini memang lebih menghemat waktu dan biaya.. Oleh karena itu, keberlanjutan lingkungan belum menjadi fokus utama selama produksi film pendek.
Ada artikel menarik berjudul Sustainability and Green Filmmaking in Film and Media Schools yang ditulis oleh Fritz Kohle. Dalam artikel ini ditulis sektor pendidikan harusnya mengambil peran proaktif dan inovatif agar mahasiswa menerapkan praktik-praktik keberlanjutan lingkungan. Terutama bagi mahasiswa film yang sering terlibat dalam produksi film itu sendiri.
Namun, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan masih jarang menjadi tema yang dibicarakan dalam produksi film pendek di lingkungan kampus. Ironisnya, film tentang peduli lingkungan banyak diproduksi, tapi tidak dengan memperhatikan bagaimana produksi film itu dilaksanakan, padahal bisa dibilang hampir setiap elemen produksi film menciptakan dampak lingkungan yang negatif.
Meskipun isu-isu lingkungan sering dibicarakan, namun selama saya menjadi mahasiswa film, belum ada tindakan konkrit yang dilakukan untuk menjaga lingkungan. Bahkan, lingkungan kampus pun masih sering berserakan sampah karena kesadaran akan ramah lingkungan masih rendah. Harapannya kampus, industri, dan pemerintah seharusnya mulai mengambil langkah serius dalam melakukan kerja sama untuk membenahi regulasi dan mengintegrasikan praktik keberlanjutan lingkungan kepada mahasiswa. Ini dapat menjadi langkah nyata dalam menjaga kelestarian lingkungan selama proses berkarya dalam sinema.
Discussion about this post