Beberapa tahun lalu, saya punya angan-angan bisa bertandang ke MFW. Dan di tahun pandemi 2020 untuk pertama kalinya angan-angan itu terwujudkan. Saya mengawalinya sebagai volunteer MFW6 juga menuliskan sedikit pengalaman saya berfestival di masa-masa sulit pandemi saat itu. Jika pengalaman MFW6 membuat saya terkesan dengan dapurnya, pada MFW7 pengalaman tak terlupakan saya dapat dari programming team MFW dengan menjadi salah satu dari pre-selection committee-nya. Hari-hari setelahnya, pengalaman itu menjadi dua tahun yang penting dan sangat berkesan buat saya.
Setelah berturut-turut menikmati MFW dua tahun ke belakang di Bali pada edisi ke-6 dan ke-7, saya harus absen di edisi ke-8 karena mesti menyambung hidup di Jakarta. Rasanya seperti ada perasaan yang kurang. Syukurnya, dua bulan setelah Minikino Film Week 8 (MFW8) di Bali ditutup, perasaan dan vibe MFW8 bisa sampai juga di Jakarta. Tepatnya pada Post Festival Roadshow edisi Jakarta pada Rabu (9/11) lalu di GoetheHaus. Meskipun jauh berbeda dengan suasana MFW di Bali, hadirnya roadshow selepas festival sedikit mengobati rindu.
GoetheHaus sore itu diramaikan dengan penonton dari berbagai usia juga dengan penampilan busana yang beragam. Beberapa, saya duga, pegawai lepas pulang kantor langsung menuju ke lokasi pemutaran film. Beberapa diantaranya mungkin sempat mengganti pakaian dan tampak lebih segar. Jika saya lihat sekilas lalu, nuansa keseluruhan penonton seperti hadir ke ‘mini MFW closing night’. Setiap orang berdandan rapi dengan gaya, mengenakan pakaian etnis, batik, kain, dan kebaya.
Mungkin betul, mini MFW closing night sangat menggambarkan MFW Post Festival Roadshow di Jakarta ini. Sebelum menonton, para hadirin dipersilakan menikmati berbagai kudapan ringan berikut pie susu yang dibawa langsung dari Bali. Ruang terbuka di antara auditorium, perpustakaan, dan kantin GoetheHaus sangat cocok untuk duduk-duduk sembari menikmati kudapan atau berjejaring dengan hadirin lainnya.
Selama rentang waktu 90 menit dari registrasi dibuka pada pukul 17:30 WIB hingga film dimulai pada pukul 20:00 WIB, hadirin juga bisa melihat-lihat merchandise dan buku program MFW8. Saya selalu menantikan berbagai merchandise MFW. Selain lucu, menarik melihat pihak-pihak yang berkolaborasi dengan MFW tiap tahunnya. Di antara semua merchandise, perangko MFW mencuri perhatian saya.
Sebagai festival dengan jejaring internasional, membuat perangko adalah ide brilian! Terlebih, perangko akan sangat fungsional disandingkan dengan kartu pos MFW yang ciamik itu. Sebagai kolaborator atau filmmaker yang tak bisa hadir ke Bali, saya bisa membayangkan menerima merchandise ini pasti akan sangat menyenangkan. Selain itu, ia merupakan sebuah branding yang strategis dan halus. Maaf… saya malah jadi mengulas perangko.
Tiba saat menonton, kami masuk ke ruangan pemutaran berkapasitas 100 orang. Di dekat saya, ada sekelompok penonton paruh baya yang tampak antusias menonton. Bisa saya katakan demikian karena mendengar celetukan-celetukan dan reaksi ekspresif dari tiap-tiap film yang diputar bergantian.
Roadshow MFW8 di Jakarta kali ini memutarkan enam film yang merupakan film-film pemenang MFW8. Tawa dan reaksi riuh dan meriah datang dari film pembuka Work it Class! (2021) karya Pol Diggler yang memenangkan MFW8 Programmer’s Choice. Sebagaimana narasi Programmer Team MFW8 tentang Work it Class!, “a hilarious innovative celebration of how short films, filmmaker, and the audience meet at festivals [perayaan inovatif yang lucu tentang bagaimana film pendek, pembuat film/sineas, dan penonton bertemu di festival]”. Setelah Work it Class! Dilanjutkan dengan film Mora Mora (2021) karya sutradara Jurga Šeduikytė dsebagai MFW8 Best Children Short, dan pemenang MFW8 Best Animation Short, Eyes and Horns (2021) oleh Chaerin Im.
Malam itu sangat interaktif dan saya terharu bisa menonton dan merayakan film pendek di ruang pemutaran GoetheHaus bersama dengan puluhan penonton lainnya. Hening yang lama, tangisan di wajah, dan bahkan beberapa kali saya juga menutup mata saat film Angle Mort (2021) sebuah dokumenter pendek karya Lotfi Achour yang memenangkan Best Audio Visual Experimental Short dan Sound of the Time (2022) karya Jeissy Trompiz yang memenangkan Best Documentary Short bergulir di layar. Kedua film itu menghadirkan kisah pedih kemanusiaan, yang walaupun berasal dari negara yang jauh. Tapi rasanya kita punya luka yang sama.
Di puncak pemutaran, Warsha (2021) karya Dania Bdeir, memberikan pengalaman menonton yang menegangkan sekaligus menakjubkan. Saya bisa merasakannya nyaris bersamaan. Desain audio yang sangat detail (lagi-lagi nyaris sempurna), menambah pacu adrenalin sekaligus ketakjuban membumbung tinggi. Sebuah penutup yang apik. Tak ayal film ini mendapatkan MFW Best Short Film of the Year 2022.
Memang begitu Warsha selesai tak ada tanya jawab dengan filmmaker. Namun seluruh tim kerja yang bertugas di roadshow ini hadir ke depan layar untuk menyapa penonton sembari berkenalan. Buat saya, beberapa wajah familiar, beberapa lainnya adalah wajah baru volunteer MFW8 yang kebetulan berada di Jakarta dan sekitarnya atau yang memang ditugaskan untuk terbang ke Jakarta.
Begitu pemutaran usai, saya tak langsung pulang. Seperti kebiasaan jika di Bali, rasanya tak lengkap jika pasca sebuah pemutaran tanpa minum kopi atau mencicipi makanan dan melanjutkan percakapan diantaranya! Maka saya lanjut obrolan dengan segelintir penonton malam itu dan tim kerja MFW8 di Bakoel Koffie Cikini. Kehangatan dari kopi dan obrolan malam ini memang akhirnya mengobati rindu merasakan MFW di Bali. Baku temu antara penonton di Jakarta dan MFW yang mengunjungi Jakarta.
Terakhir, selamat dan terima kasih untuk MFW8 dan setiap pihak yang mendukung Post Festival Roadshow edisi Jakarta ini nyata. Karenanya saya dapat ‘mencicipi’ indahnya “puisi-puisi yang dibuat dengan sepenuh hati, dibuat dengan sepenuh isi tabungan mereka untuk bisa dicetak dan diterbitkan” mengutip analogi film pendek yang disampaikan pada pembukaan acara pemutaran oleh Direktur Festival MFW8, Edo Wulia.
Discussion about this post