Layar ponsel telah menjadi jendela bagi banyak orang untuk melihat dunia, dan melalui wahana tersebut film dapat menjadi wahana yang berdampak besar dalam menyalurkan berbagai gagasan mutakhir. Minikino, bekerja sama dengan Internews dan FilmAid, mengadakan program kompetisi Film Vertikal yang berfokus pada produksi film pendek bertema “Kekerasan Berbasis Gender (KBG)” dalam format layar vertikal. Tempuran antara tema dan teknik ini memberikan tantangan unik bagi setiap kelompok produksi, mendorong mereka untuk mengeksplorasi pertemuan dari dua fokus ini dalam film yang mereka buat. Program ini menyoroti kekerasan berbasis gender dan format vertikal sebagai dua bingkai utama. Dengan demikian, program ini tidak hanya memperkaya narasi seputar isu-isu sosial, tetapi juga membuka ruang bagi penelusuran artistik dalam ranah film. Saya mencoba mengurai apa yang tumbuh dari pengalaman menyaksikan sepuluh film yang secara khusus diproduksi di dalam program ini.
Memandang dunia dari bingkai
Produksi film dan video dalam format vertikal semakin populer sejak munculnya berbagai fitur penayangan vertikal dalam media sosial seperti Instagram Reels, YouTube Shorts, dan lainnya. Pilihan format ini berkembang mengikuti dimensi layar ponsel yang kini secara masal diproduksi dalam format vertikal. Kebutuhan akan komunikasi yang cepat dan langsung, serta perkembangan industri yang pesat di kalangan masyarakat modern, semakin mendorong setiap penggunanya untuk beradaptasi dengan perubahan ini.
Ponsel, yang dulu digunakan hanya untuk menelepon, kini telah berkembang menjadi perangkat multifungsi yang memungkinkan penggunanya untuk menyaksikan berbagai peristiwa dari seluruh dunia. Peran media sosial dalam menyebarkan informasi dengan cepat telah menggantikan fungsi koran harian dan televisi, dan perlombaan informasi melalui platform digital satu itu menjadi hal yang tak terhindarkan. Sosial media memang memungkinkan penyaluran ide-ide baru dengan cepat dan efisien, tetapi juga sifat keterbukaan dari sosial media juga membawa dampak negatif, karena banyak pengguna media sosial yang akhirnya mengandalkan media sosial sebagai acuan utama untuk mencari dan mengukur kebenaran.
Penggunaan platform media sosial dalam tampilan layar vertikal ikut andil dalam mengubah cara penggunanya merekam gambar. Dengan peningkatan kualitas kamera ponsel yang mendekati kualitas kamera profesional, video vertikal semakin mendapatkan panggung dalam kalangan pengguna ponsel. Unggahan video dan film di media sosial kini lebih sering terlihat dalam format vertikal, dibandingkan dengan format horizontal yang sebelumnya lebih umum digunakan.
Sejak awal penggunaan kamera dengan rol film, format horizontal dengan aspect ratio 4:3 telah menjadi standar umum. Selama bertahun-tahun, penggunaan film dengan format horizontal ini membentuk kebiasaan para pembuat film (filmmaker) untuk bekerja dalam kerangka visual tersebut. Meskipun kini aspect ratio 16:9 lebih sering digunakan, khususnya dalam industri televisi dan video digital, logika pengambilan gambar secara horizontal tetap kuat.
Kamera telah menjadi perpanjangan tubuh manusia, yang secara alami lebih nyaman dan akrab dengan orientasi horizontal. Penggunaan format ini tidak hanya mempengaruhi teknis pengambilan gambar, tetapi juga estetika film secara keseluruhan, di mana dunia ditangkap dalam ruang yang lebih meluas dan mendatar. Meskipun ada perubahan teknologi dan format visual baru seperti layar vertikal pada ponsel pintar atau platform media sosial, format horizontal masih memiliki peran yang signifikan dalam sinematografi tradisional dan film. Maka, dorongan untuk memproduksi film vertikal menjadi proses peralihan dari ingatan tubuh terhadap kamera dan bingkai horizontal.
Walaupun penggunaan bingkai vertikal secara masal cenderung baru dalam tradisi film, kita dapat menelusuri penggunaan bingkai dalam disiplin seni rupa. Bingkai dalam hal ini diperluas, bukan hanya menjadi batas fisik dari karya, tetapi juga berperan dalam membentuk bagaimana kita memandang dan menafsirkan citra di dalamnya. Dalam usaha untuk memahami lebih dalam hubungan antara citra dan bingkai, saya kembali membuka halaman-halaman dari lini masa perkembangan seni rupa untuk melihat bagaimana bingkai menjadi elemen yang penting dalam penyaluran gagasan artistik seniman. Bingkai berperan sebagai elemen yang membentuk narasi, mengarahkan fokus, dan menciptakan interaksi antara karya seni dan penontonnya.
Potret dan Lanskap
Jika kita melihat lebih jauh ke masa lalu, praktik seni lukis memiliki tradisi sejak periode Pertengahan dan Pencerahan (Renaissance) untuk melukis potret dari tokoh-tokoh penting, figur publik, atau bahkan sang seniman itu sendiri. Potret-potret ini tidak hanya menggambarkan fisik, tetapi juga menyampaikan kedalaman emosi dan suasana melalui teknik yang digunakan, dengan tujuan menangkap esensi dari sosok yang dilukiskan. Lukisan tersebut juga bisa menampilkan citra yang diinginkan oleh sosok yang digambarkan, sehingga bisa menjadi cerminan identitas atau status mereka. Bingkai vertikal (portrait) menjadi pilihan yang umum dipilih, karena memberikan fokus secara optimal pada subjek yang dilukis.
Selain sosok utama dalam potret, ruang, objek, dan ornamen yang mengelilinginya digunakan sebagai penanda status, kekuasaan, dan kondisi tokoh tersebut di dalam masyarakat. Misalnya, latar belakang atau benda-benda tertentu dalam potret bisa mencirikan kedudukan aristokratis, kekayaan, atau prestasi tokoh yang digambarkan. Praktik ini sangat relevan dalam konteks sejarah, mengingat bahwa lukisan potret pada masa itu sering kali dihidupi oleh kaum aristokrat, petinggi, dan penguasa. Hubungan ini menempatkan bingkai vertikal dalam lukisan potret sebagai bagian dari “seni tinggi” (high art), yang tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai perangkat politik untuk menegaskan status dan kekuasaan pemiliknya.
Jika bingkai vertikal tersambung pada lukisan potret, format bingkai horizontal cenderung dekat dengan praktik lukis lanskap. Lukisan-lukisan mooi indie dapat menjadi satu acuan untuk melihat bagaimana bingkai horizontal terhubung pada cara pelukis Eropa dalam menatap keindahan pemandangan Indonesia. Pola bingkai lanskap dalam lukisan Mooi Indie tidak hanya mencerminkan kekaguman terhadap keindahan alam Indonesia, tetapi juga mengisyaratkan hasrat atas objek eksotik dan penguasaan wilayah melalui media lukis.
Lukisan klasik Cina atau Jepang, menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menangkap objek pemandangan. Dalam lukisan pemandangan klasik Cina, wahana rol kertas atau sutera menjadikan bingkai vertikal lebih sesuai. Pada kondisi ini, saya melihat relasi ruang atas dan ruang bawah menjadi lebih terlihat. Langit berbagi ruang bersama pegunungan atau dataran dalam keseluruhan komposisi gambar. Pengalaman melihat hubungan antara langit dengan dataran membuat saya memaknai ruang kosong langit sebagai sesuatu yang hadir. Orientasi ini seakan mencerminkan keterhubungan antara dunia bawah dan dunia atas, menempatkan langit sebagai entitas penting yang hadir dalam kehidupan, bukan sekadar latar belakang yang absen atau dekoratif.
Pendekatan ini berbeda dari bingkai horizontal dalam lukisan Mooi Indie yang lebih menekankan pada penguasaan lanskap. Bingkai vertikal dalam tradisi lukis Cina seperti menarik garis hubungan antara antara manusia, bumi, dan langit. Melalui acuan ini, saya melihat pilihan “bingkai” dapat menjadi pertimbangan yang filosofis, dan menjadi simbol atas sikap yang melekat pada kebudayaan yang hidup di sekelilingnya.
Jika kita menelusuri lebih jauh sejarah penggunaan bingkai dalam karya seni, terlihat bahwa gagasan, motif, dan tujuan artistik sangat berperan dalam menentukan orientasi dan ukuran bingkai. Dalam seni di Eropa yang lebih berorientasi pada penguasaan teritorial dan fisik, bingkai horizontal dominan, sementara dalam seni Timur yang lebih berfokus pada spiritualitas dan hubungan kosmis, bingkai vertikal lebih sering digunakan. Ini menunjukkan bahwa pilihan bingkai dalam seni tidak hanya berfungsi sebagai batasan fisik gambar, tetapi juga sebagai refleksi nilai-nilai budaya yang mendasarinya.
Menghidupkan Bingkai
Cakupan ruang bingkai vertikal yang lebih terbatas pada sisi kiri dan kanan layar, membuka kemungkinan bagi film vertikal untuk bereksperimen dan mengolah gerak. Gerak dalam hal ini tidak hanya dapat diciptakan dari objek dan peristiwa yang terekam, namun juga pergerakan pada bingkai itu sendiri. Pergerakan kamera dapat memberikan pengalaman bagi penonton untuk mengalami narasi yang disampaikan. Baik dalam bentuk cerita ataupun bersifat lebih abstrak, gerak dalam gambar mampu menghidupkan narasi di dalam satu karya film.
Hal ini saya rujuk dari pengalaman dalam membaca relief candi. Mengambil contoh pada Candi Borobudur, satu bingkai relief terdiri dapat terdiri dari berbagai peristiwa, meskipun terlihat di dalam satu bingkai. Arsitektur Borobudur yang memutar (merujuk pada pradaksina) mengamati bingkai relief yang horizontal akan berubah. Pengamatan yang sebelumnya melebar lalu menjadi bingkai yang lebih sempit, lalu bingkai itu memindai setiap bagian dari satu sisi ke sisi lainnya.
Pengalaman menyaksikan gambar vertikal pada sepuluh film ini sering kali masih belum menemukan komposisi yang tepat. Gambar dalam format vertikal dalam film-film ini terasa sebagai “potongan” dari bingkai horizontal. Komposisi gambar yang tampil kerap belum selesai menyesuaikan orientasi bingkai, sehingga gambar seperti gambar lanskap yang terpotong. Begitu terasa yang seringkali menjadi gangguan yang tidak dibutuhkan.
Saya kira, hal ini dapat dicermati kembali dengan menelusuri kemungkinan komposisi yang lebih sesuai dengan orientasi bingkai vertikal. Hal ini meliputi arah kamera, pergerakan, dan jarak antara kamera dengan fokus sobjek atau objek. Bingkai vertikal sesuai untuk menampilkan gestur dan ekspresi tubuh, yang krusial pada tema besar yang diangkat. Perhatian terhadap ini dapat mendekatan penonton pada kondisi-kondisi fisik dan psikis yang seringkali terasa jauh atau tidak terjangkau pada kehidupan nyata.
Dalam konteks pergerakan subyek dan obyek dari bawah ke atas atau sebaliknya, bingkai vertikal mampu mengarahkan perhatian penonton secara alami terhadap evolusi, perubahan, atau pencapaian dari satu titik ke titik lain. Pergerakan dari bawah ke atas bisa melambangkan pertumbuhan, aspirasi, perjuangan, atau harapan. Subyek yang naik dalam bingkai vertikal mungkin mencerminkan perjalanan menuju sesuatu yang lebih tinggi, baik secara literal (seperti mendaki gunung) maupun simbolis (misalnya pencarian kebebasan). Di sisi lain, pergerakan dari atas ke bawah bisa mencerminkan gravitasi, penurunan, atau sesuatu yang jatuh, yang mungkin mengindikasikan ketidakberdayaan, kemunduran, atau kembalinya ke asal.
Memandang Persoalan Gender dari Bingkai Vertikal
Sepuluh film dalam program ini menawarkan beragam pengembangan dalam mengolah tema kekerasan berbasis gender (KBG). Emosi dan rasa yang muncul dari tiap-tiap film menjadi pintu masuk untuk mengalami tema KBG. NGGAK!!! (2024, dir. Oktania Hamdani, Winner Wijaya) menampilkan dinamika emosi yang bagi saya menguatkan ironi dari menatap kondisi masyarakat yang terdidik dengan rasa takut dan sikap agresif terhadap keberadaan gender non biner. Film ini juga mengelaborasi peristiwa layar ponsel sebagai bagian dari sinematografi. Pernikahan daring menggunakan avatar bertemu dengan konflik keluarga via video call. Penonton diajak masuk pada ruang intim dengan melihat percakapan whatsapp tokoh dengan ibu dan pacarnya, yang tidak terlihat bagi banyak orang di dunia nyata. Aksi pernikahan daring menggunakan aplikasi sebagai ruang yang bebas dari norma di kehidupan nyata, menguatkan dilema yang dihadapi tokoh sebagai perantau dari lingkungan yang konservatif. Penayangan film ini cocok dilakukan pada layar ponsel, untuk memberikan pengalaman yang dekat bagi penonton.
Tema KBG pada sepuluh film ini juga mendapat penyuaraan dari berbagai latar budaya dan realitas yang dihadapi oleh sutradara serta kelompok produksi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu contoh penggambaran tema ini terlihat dalam Perempuan dan Perempuan Lainnya (2024, dir. Vera Isnaini), yang mencoba memantulkan peran bahasa dan pengetahuan di dalam persoalan KBG. Bahasa, sebagai penyalur pengetahuan, diperkenalkan sejak awal film sebagai salah satu elemen yang menyebabkan jarak emosional dan komunikasi antara generasi ibu dan anak perempuan. Film ini menggali bagaimana perbedaan bahasa dan pengalaman hidup membentuk hubungan antargenerasi serta menghalangi pemahaman penuh terhadap isu-isu KBG.
Selain itu, Everybody Lies (2024, dir. Jesenia Kurniawati Maniagasi) mengangkat persimpangan antara konflik seksual dan rasial yang digambarkan melalui isu warna kulit. Tekanan dari media sosial dalam menetapkan standar warna kulit yang dianggap ideal sering kali mendiskriminasi kelompok masyarakat dengan latar belakang identitas rasial yang memiliki kulit lebih gelap. Film ini, melalui aksi-aksi yang tampak banal dan berakhir brutal, mengekspresikan pergumulan kekecewaan terhadap kesepakatan sosial mengenai standar kecantikan yang tidak realistis. Kekecewaan yang teredam atas standar tersebut justru berbalik menjadi sesuatu yang menyakitkan, merusak diri sendiri, dan menyisakan luka yang dalam.
KBG juga dapat dipahami melalui ketegangan antara tatanan tradisi dan realitas kontemporer. Purusa, Utama? (2024, dir. I Wayan Yuliantari) menggambarkan percakapan singkat yang sarat dengan penyimpangan fungsi dan peran dalam tatanan tradisi. Sistem tradisi memiliki peran dalam menentukan posisi gender di dalam struktur yang ada. Tradisi merupakan pelestarian sistem organisasi yang disepakati oleh masyarakat pada masanya, demi menjaga keseimbangan dan keselarasan lingkungan. Meskipun tidak lagi menjadi relevan pada lingkup masyarakat terkini, penempatan perempuan dalam ranah domestik tidak semata-mata bertujuan untuk mengekang, dan tidak serta-merta menempatkan peran laki-laki sebagai yang lebih utama. Namun, benturan antara nilai-nilai kebijaksanaan tradisi dengan realitas kehidupan modern sering kali mengubah keseimbangan sistem ini, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap terjadinya diskriminasi. Benturan ini membuat masyarakat lebih rentan terhadap kekerasan, baik dalam ranah gender maupun kekerasan sistemik lainnya.
Tidak hanya dalam ranah tradisi di masyarakat luas, beberapa film juga menggambarkan KBG dalam ruang domestik, yang sering kali diwariskan secara psikis dari generasi ke generasi. Child’s Play (2024, dir. Azalia Primadita Muchransyah) menampilkan sebuah teater boneka singkat yang dimainkan oleh seorang anak, sebagai bentuk penafsiran atas peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh ayah terhadap ibunya akibat konflik peran orang tua. Dengan latar rumah di perkotaan dan kamera yang menggunakan ponsel, film ini menggambarkan ketegangan antara pihak yang memiliki sikap konservatif dan pihak lain yang lebih terbuka, yang sering kali memicu pertengkaran dan berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Saya merasa film ini mengajak penonton untuk menyaksikan dampak ketimpangan peran gender yang bergulung dan akhirnya menjadi bencana bagi sang anak, yang terjebak dalam konflik tersebut.
Tidak hanya menggunakan latar cerita realis, Sorrow in Moon’s Eyes (2024, dir. Azalia Primadita Muchransyah) melakukan penafisran ulang atas cerita rakyat Jaka Tarub yang mencuri selendang bidadari, sebagai kritik terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi hari ini. Kerangka fiksi yang sudah lama kita kenal melalui kisah Jaka Tarub disusun ulang dengan menyisipkan beberapa bentuk kekerasan seksual yang marak terjadi saat ini, seperti penyebaran video intim dan kekerasan fisik. Meskipun esensi filosofis dari cerita Jaka Tarub dalam versi Babad Tanah Jawi mengalami perubahan, peminjaman karakter dan alur dasar cerita saya maknai sebagai perangkat yang menumbuhkan renungan kritis terhadap teks dan narasi masa lampau. Film ini membuka ruang untuk mempertanyakan nilai-nilai yang diwariskan dalam cerita rakyat dan relevansinya dengan persoalan kekerasan seksual di masa kini.
Beberapa karya seni juga memperluas wacana mengenai KBG agar tidak hanya berputar pada aktivitas seksual. Salah satu contoh adalah F(~L~)IGHT (2024, dir. Indah Listyorini), yang menggunakan perencanaan kegiatan dalam sebuah organisasi sebagai pintu masuk untuk mengeksplorasi penindasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Atribut pakaian dan bahasa yang digunakan dalam film ini menekankan posisi biner antara laki-laki dan perempuan, serta menggambarkan percampuran konflik gender dalam konteks politik kekuasaan dalam skala organisasi mahasiswa. Dengan demikian, karya ini mengajak penonton untuk merenungkan bagaimana dinamika gender tidak hanya terbatas pada relasi personal, tetapi juga meluas ke dalam struktur sosial dan organisasi yang lebih besar.
Disgusting Sexist Jokes (2024, dir. Dela Ayu Kartika) merupakan salah satu interpretasi dari sepuluh film yang secara jenaka mengangkat fenomena penyingkatan nama layanan pemerintah menjadi cemoohan yang seksis. Tahun ini, nama-nama tersebut sempat viral di berbagai platform media sosial, menampilkan layanan-layanan pemerintah dari tingkat desa hingga provinsi yang dipersingkat menjadi ejekan yang menghina golongan gender tertentu, khususnya perempuan. Beberapa contoh singkatan yang muncul dalam konteks ini adalah “Sipepek,” “Si Montok,” dan “Jebol Ya Mas.” Film ini tidak hanya mencerminkan bagaimana bahasa dapat digunakan sebagai alat penindasan, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan dampak dari bentuk humor yang merendahkan. Dengan menggunakan pendekatan komedi, film ini mengangkat isu serius tentang diskriminasi gender dan bagaimana hal itu berakar dalam budaya populer serta interaksi sosial kita sehari-hari.
Alih-alih hanya menampilkan laki-laki sebagai pelaku utama, film ini juga menggambarkan sosok perempuan sebagai “birokrat” yang berperan dalam birokrasi yang mendukung penyematan nama-nama tersebut. Dalam konteks ini, saya merasa bahwa pemaparan KBG sebagai masalah sistematik menjadi semakin relevan, karena keberlangsungan suatu sistem sangat bergantung pada keterlibatan seluruh komponennya.
Setelah melihat potret dari masing-masing film, saya melebarkan pandangan untuk melihat horizon keseluruhan sepuluh film yang terlibat dalam program ini. Terdapat kecenderungan yang cukup dominan di antara sebagian besar film tersebut, yang menampilkan KBG sebagai praktik penindasan laki-laki terhadap perempuan dalam konteks hubungan heteronormatif. Kepada Rekan Media (2024, dir. Rakha Ayu Rengganis) dan Luka Djiwa (2024, Edwyna Kezia Tamindael) menjadi acuan utama untuk mengamati kecenderungan ini.
Saya mencatat bahwa latar belakang sutradara perempuan memainkan peran penting dalam penempatan perempuan sebagai sudut pandang utama dalam cerita. Hal ini menjadikan posisi perempuan sebagai protagonis bukan hanya sebuah strategi naratif yang mendekatkan sutradara dengan kisah yang diceritakan, tetapi juga memberikan ruang yang lebih besar bagi suara perempuan yang sering kali terpinggirkan. Kedua, film ini juga berlatar lingkungan pendidikan, yang perlu diakui masih sangat rentan terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan seksual.
Laki-laki ditempatkan secara mutlak sebagai pelaku antagonis yang secara kejam merampas kebahagiaan dan melakukan penyiksaan, baik fisik maupun mental, terhadap sosok protagonis yang diperankan oleh perempuan. Jika kita menilik pada kasus-kasus di lapangan, hal ini memang sering terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Namun, kasus-kasus tersebut juga sering kali terjadi dengan kronologi yang panjang dan alasan-alasan yang kompleks, yang tidak dapat dipaparkan pada durasi yang singkat. Ekspos yang terlalu tajam pada KBG dari laki-laki kepada perempuan juga mengaburkan realitas lain, bahwa KBG juga terjadi secara sistematik pada lintas gender lain, baik dari perempuan ke laki-laki, hetero ke non-biner dan sebaliknya, atau terjadi pada interaksi gender yang sama.
Bagi saya, penyematan label baik dan buruk pada gender tertentu dalam wahana film pendek sangat rentan menciptakan emosi yang prematur, dan memantik reaksi kebencian dengan cepat. Reaksi cepat yang terjadi berulang-ulang rentan menimbulkan stereotip terhadap satu gender tertentu. Pembingkaian melalui stereotip dapat berdampak buruk jika ia tumbuh sebagai budaya pembatalan (cancel culture), memaksa publik untuk bersama-sama melakukan pembuangan terhadap satu orang dalam seluruh interaksi di kehidupannya.
Stereotip ini tidak hanya membatasi ruang gerak individu untuk berekspresi dan bertahan hidup, tetapi juga berpotensi memperkuat stereotip negatif terhadap gender tertentu. Oleh karena itu, saya rasa penting untuk memberi perhatian dan memperlakukan narasi gender secara lebih terperinci, agar tidak menjebak publik dengan bingkai yang mengarah pada ketidakadilan dan pengucilan lebih lanjut. Film dapat selalu mempertimbangkan kembali agensinya sebagai penyambung renungan dan perubahan agar tidak menjadi usaha yang kontraproduktif, karena ia hanya berfungsi sebagai pemutarbalikan (dan jika tidak hati-hati, dapat berujung pada balas dendam) terhadap tindakan diskriminatif dari satu gender ke gender lain. Penggambaran seperti ini mengabaikan kompleksitas individual di balik gender tersebut. Dengan menempatkan gender tertentu dalam peran antagonis secara mutlak, kita kehilangan kesempatan untuk memahami dinamika yang lebih luas dan mengatasi masalah struktural yang mendasarinya.
Program ini mempertemukan dua bingkai yang kini sedang ramai diperbincangkan: bingkai video vertikal dan bingkai konflik gender. Meskipun isu-isu ini sekarang banyak dikumandangkan, saya merasa perlu ada kesadaran yang lebih mendalam bahwa kedua bingkai tersebut bersandar pada satu bingkai besar, yaitu media sosial. Media sosial telah menjadi platform yang sangat kuat dalam menentukan arah pemikiran setiap penggunanya.
Saya rasa penting untuk menyadari bahwa representasi yang ditampilkan dalam film membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Penggunaan video vertikal menjadi ujung tombak yang tajam karena efektivitasnya dalam mendistribusikan gagasan tentang KBG di media sosial. Namun, ada risiko bahwa penggunaan format ini dapat berbalik menjadi bumerang bagi para kreator jika tidak diimbangi dengan kematangan wawasan, konsep, dan penguasaan teknik yang memadai.
Selain itu, penyuaraan gagasan dengan bingkai tema KBG perlu menghindari potensinya sebagai ajang saling-pecut antar gender, di mana perdebatan dan diskusi dapat berlangsung secara intens. Hal ini dapat menjadi ruang untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman, tetapi juga bisa memicu konflik jika tidak dikelola dengan bijaksana. Oleh karena itu, penting bagi para kreator untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dalam teknik penyampaian dan substansi dari pesan yang ingin disampaikan, agar karya mereka tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memberikan dampak positif dalam wacana mengenai gender.
Bingkai selayaknya dimaknai sebagai jendela yang memandu arah dalam menatap satu kenyataan, dengan kesadaran bahwa kenyataan itu tidak pernah tetap. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencoba arah bingkai yang berbeda, atau melihat dari bingkai yang lain. Mencoba untuk melihat dunia dari berbagai jendela tidak hanya akan memperkaya pengalaman kita sendiri, tetapi juga menciptakan ruang untuk percakapan yang lebih terbuka dan membangun. Seni, terutama film, memiliki kekuatan untuk menginspirasi kita dalam mempertanyakan, menelusuri, dan menentukan kembali cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Discussion about this post