Isu kemanusiaan kerap menjadi sorotan karya-karya seni termasuk film. Festival Film Kemanusiaan (FFK) 2024 mengakui peran film sebagai penggerak edukasi kebudayaan dan politik, dua hal yang melekat pada kemanusiaan. Terlebih, peran film ini adalah salah satu jantung di balik berdirinya Yayasan Kino Media. “Kami percaya kalau kita bicara budaya sinema, kita juga bicara mengenai kemanusiaan sebagai nilai-nilai yang hidup, tidak lepas dari pola, cerita, dan kisah-kisah,” ujar Edo Wulia, Direktur Artistik FFK 2024.
Untuk memfasilitasi perkembangan dan perayaan kemanusiaan, di tahun ketiganya, FFK mempersembahkan seleksi film yang merayakan kemanusiaan dari berbagai spektrum didampingi oleh sesi diskusi. FFK menayangkan ketiga film pada 20‑21 Desember 2024 di MASH Art House Cinema. “Festival Film Kemanusiaan tahun ketiga mempersembahkan seleksi kisah-kisah yang merayakan nilai-nilai dinamis ini untuk bisa disadari kembali, untuk dipertanyakan dan dipikirkan kembali,” kata Edo dalam pembukaan FFK 2024. Film-film ini antara lain Re:Orientations (2016, dir. Richard Fung), Senyap (The Look of Silence; 2014, dir. Joshua Oppenheimer, Anonim), dan Kembali Pulang (Going Home; 2023, dir. Tinton Aryo Putro)—film-film dokumenter yang menyentuh berbagai aspek spektrum isu kemanusiaan.
Sebagai media audio-visual yang mampu membangkitkan emosi-emosi kuat pada penonton, film adalah mesin empati yang efektif. “Pada dasarnya, kita sama saja dengan bio-organisme lain. Namun, menjadi manusia adalah menyadari kemampuan kita untuk membuat kisah dan mempercayai kisah yang kita buat,” ucap Edo. Edo percaya bahwa kemanusiaan sendiri adalah nilai-nilai yang hidup dan dinamis, terus berkembang dengan waktu, bukan dogma ataupun nilai-nilai kaku.
Untuk sejenak, FFK mengajak penonton untuk menjelajahi kisah-kisah kemanusiaan dengan empati dan pikiran terbuka melalui ketiga film pilihan komite. Lebih dari menyaksikan film, untuk pertukaran perspektif untuk terjadi, penonton berkesempatan berdiskusi usai tiap penayangan film, ditemani oleh seorang moderator di tiap sesinya. Edo mengundang penonton untuk kritis dan bersuara di kesempatan ini, katanya, “Festival Film Kemanusiaan tahun ketiga mempersembahkan seleksi kisah-kisah yang merayakan nilai-nilai dinamis ini untuk bisa disadari kembali, untuk dipertanyakan dan dipikirkan kembali.”
Re:Orientations (2016, dir. Richard Fung)
Re:Orientations (2016)—dokumenter tentang gerakan queer di komunitas Asia di Kanada—membuka FFK 2024 pada 20 Desember 2024. Penayangan ini juga menjadi penayangan Re:Orientations pertama di Indonesia. Film karya Richard Fung, seorang Professor Emeritus di OCAD University ini menampilkan tujuh individu queer pan-Asia yang menilik kembali ke diri mereka di dokumenter yang mereka bintangi 30 tahun sebelumnya tentang topik yang sama, Orientations (1984).
Perbedaan zona waktu yang berlawanan antara Indonesia dan Kanada tak membuat surut semangat pembuat film dan festival untuk saling terhubung dengan penonton. Alih-alih sesi Q&A setelah penayangan, tim FFK melakukan wawancara sebelum festival berlangsung dengan sutradara Richard Fung dan moderator diskusi, Natania Marcella. Rekaman tersebut diputar seusai film Re:Orientations dan sekaligus menjadi pembuka sesi tanya jawab yang dipandu moderator diskusi.

Dalam rekaman ini, diskusi bergulir seputar topik perkembangan gerakan queer di Kanada, objek dari dokumenternya. “Saya tidak menyangka jadi filmmaker. Orientations adalah proyek aktivis, dan film itu jadi tayang di banyak tempat seperti festival film. Jadi, saya menjadi filmmaker. Tiga puluh tahun kemudian saya di sini, seorang professor di universitas mengajar tentang film,” ia bercerita, “jadi, keadaanku banyak berubah.” Richard kemudian menjelaskan perubahan besar dalam kehidupan queer di Kanada dan di dunia. Dalam rekaman ulang ini, Richard berpesan bahwa ada banyak cara individu queer menjalani hidup mereka; tidak ada yang paling benar.
Video wawancara ini menjadi fondasi yang menstimulir pendapat kritis pada penonton. Selain film dirasa diriset dengan baik, penonton juga berbagi pemikiran mereka sendiri mengenai isu yang diangkat film. Dalam menilik ke perkembangan gerakan queer di Kanada, penonton diajak untuk berpikir: bagaimana dengan Indonesia? Seorang penonton berbagi, “Mungkin perkembangan komunitas queer Kanada dibandingkan Indonesia agak jauh, karena di Kanada sudah dilegalisasi, sedangkan di Indonesia secara hukum pun abu-abu.”
Banyak pandangan dan observasi personal terungkap. Meskipun semua setuju bahwa Indonesia masih memiliki perjalanan yang jauh menuju memberi hak dan kemanusiaan pada individu-individu queer, mereka juga setuju bahwa gerakan kolektif berperan besar pada masa depan gerakan queer di Indonesia. Seorang penonton mengungkapkan, “Diharapkan ke depannya untuk komunitas-komunitasnya bisa lebih organized, supaya kita semuanya itu bisa hidup berdampingan.”
Senyap (The Look of Silence; 2014, dir. Joshua Oppenheimer, Anonim)
Hari ke-2 sekaligus hari penutup FFK 2024 dibuka dengan film yang membahas peristiwa 1965, yang bahkan masih relevan di tahun 2024. Film garapan Joshua Oppenheimer dan seorang sutradara yang dinamakan anonim ini menceritakan perjalanan Adi Rukun berhadapan dengan pembunuh-pembunuh kakaknya, seorang korban pembantaian partai komunis di 1965. Bertahun-tahun setelah itu, paham anti-komunis peninggalan Orde Baru masih berkuasa. Bahkan di tahun 2014, Adi mengkonfrontasi pembunuh-pembunuh yang hidup dan bertambah usia tanpa rasa bersalah.

Film yang kental dengan isu kemanusiaan ini menggapai banyak aspek emosional penonton. Usai tayangnya Senyap (2014), sesi diskusi dimoderatori oleh Ni Nyoman Ritaro Hari Wangsa (Rita) mengundang banyak perspektif dan emosi mendalam dari penonton. Di awal sesi, ruangan hening. Semua masih memproses apa yang baru saja mereka saksikan. Saat Rita memberi kesan dan melempar pertanyaan pada penonton, mereka langsung bersemangat menyuarakan apa yang tertanam di benak mereka. Penonton mengaku resah dan sedih akan situasi Adi. Banyak dari penonton juga baru mempelajari tentang isu yang diangkat film dengan sedetil ini, karena isu ini tidak pernah diajarkan di sekolah maupun dibicarakan di masyarakat luas.
Diskusi dan refleksi emosional penonton berlanjut dengan bahasan mengenai etika film dokumenter dalam konteks pembuatan film ini. Di satu sisi, penonton setuju bahwa pelanggaran etika dokumenter ada pada filmmaker yang kurang terbuka mengenai tujuan syuting pada beberapa objeknya. Namun, di sisi lain, beberapa penonton juga setuju bahwa “pelanggaran” ini diperlukan untuk mendapatkan kisah yang jujur dari objeknya.
Keberadaan Senyap sebagai dokumenter tidak hanya menggebrak konvensi film, tetapi juga propaganda anti-komunis. Seorang penonton menambahkan, “Memang perlu rasanya film ini lebih banyak ditonton oleh kami-kami bangsa Indonesia untuk lebih mengerti untuk selalu berhati-hati, selalu rajin membaca, mencari fakta, mengikuti sejarah sehingga tidak mudah terkecoh.” Sudah 59 tahun berlalu sejak peristiwa 1965 di Indonesia, tetapi kisah-kisah mereka yang terdampak masih mengidap luka.
Kembali Pulang (Going Home; 2023, dir. Tinton Aryo Putro)
Untuk menutup FFK, dokumenter Kembali Pulang (2023) tayang ditemani sesi tanya jawab dengan sutradara sekaligus juru kamera dan editor film, Tinton Aryo Putro. Film menceritakan tentang pelepasan multi spesies, beruk monyet ekor panjang (Macaca namestrina), elang brontok fase gelap (Nisaetus cirrhatus) dan elang bondol (Haliastur indus) ke habitat asli mereka dengan emosional, menyoroti kerja keras dan dedikasi [para pekerja] serta pelanggaran kemanusiaan dalam hal merampas hewan-hewan ini dari rumah mereka.

Sebagai moderator sesi diskusi bersama Tinton, Putu Wulandari Dyana Putri, membuka diskusi dengan menanyakan kesan Tinton membuat filmnya. Dengan emosi mendalam akan hewan-hewan yang ia saksikan kembali pulang secara langsung, Tinton berbagi tentang pentingnya konservasi satwa liar, terutama primata yang terancam punah, dan lemahnya regulasi perlindungan satwa di Indonesia. Tinton bercerita, “Proses rehabilitasi ini sebenarnya sangat panjang dan memakan waktu yang sangat lama, butuh kesabaran dan dedikasi banyak teman-teman di lapangan.” Bahkan ternyata, tim rehabilitasi harus menetap di lokasi selama setahun lebih tanpa pulang ke keluarga mereka. Bagi Tinton, merekalah pahlawan-pahlawan yang layak mendapat lebih banyak apresiasi.
Selain membicarakan proses rehabilitasi hingga pelepasan hewan liar, Tinton juga memberi wawasan mengenai pelanggaran-pelanggaran perlindungan satwa lain. Salah satunya adalah membisniskan satwa menjadi ladang besar uang. “Nasib satwa di Indonesia benar-benar memilukan. Entertainment dengan satwa liar dengan kedok hiburan sudah menjadi normal di masyarakat,” katanya. Untuk mengakhiri sesi, Tinton mengajak penonton untuk belajar lebih lagi mengenai isu ini dan berkontribusi dalam hal mengedukasi satu sama lain. Baginya, hal kecil sudah amat bermakna demi perjalanan kolektif menuju penyelesaian isu ini.
Semua diskusi yang mengikuti ketiga film pilihan FFK 2024 menjadi penegas akan kekuatan film dalam membuka ruang dialog yang kritis. Tiap isu yang diangkat oleh ketiga film memberi ilmu dan perspektif baru untuk penonton. Dialog yang mengikuti diputarnya film-film menjadi kesempatan yang unik dan berharga untuk membuka pikiran dan saling mendengar. Sesuai dengan harapan Yayasan Kino Media, film dapat menjadi sarana empati dan edukasi yang efektif. Berdialog tentang kemanusiaan membangkitkan kesadaran penonton bahwa kemanusiaan harus dipertahankan, dirayakan, terus diperjuangkan.
Discussion about this post