Sudah sepuluh tahun ketika Minikino memulai gerakan Indonesia Raja sebagai penghubung distribusi film-film pendek kepada penonton yang lebih luas. Melalui jejaring kerja pertukaran film pendek ini, Indonesia Raja hadir dan berharap bisa menjadi tolok ukur pencapaian terkini produksi film pendek di tiap-tiap kota/wilayah di Indonesia, sekaligus membawa semangat pertukaran informasi, budaya, dan pengetahuan, membawa slogannya, membaca Indonesia melalui film pendek.
10 tahun adalah komitmen panjang, dan konsistensi keberlanjutan kolaborasi yang telah berlangsung adalah proses yang penuh tantangan dengan pasang surutnya tersendiri. Masing-masing programmer berusaha mengumpulkan yang terbaik dari setiap produksi di kota atau wilayah yang mereka kerjakan. Setiap film pendek yang akhirnya terpilih dan ditayangkan dalam program Indonesia Raja telah menarik sisi nilai literasi film pendek itu sebagai pembacaan kondisi sosial budaya di daerah-daerah setempat, memicu kesadaran reflektif akan apa-apa saja yang sedang menjadi masalah atau menyoroti isu-isu penting sosial dan budaya yang mungkin sedang terjadi atau yang perlu diketahui.
Program film pendek berbasis wilayah ini sudah aktif selama 10 tahun menunjukan bagaimana kondisi Indonesia di sana-sini. Mengumpulkan kerja-kerja sineas, menghubungkannya satu sama lain, dan menyajikannya dalam sebuah dosis film pendek untuk penonton.
Sebagai agenda tahunan Minikino, Indonesia Raja lebih dari sekedar sekelumit gambaran capaian kegiatan perfilman yang dimiliki kota atau wilayah yang terlibat di dalamnya. Agenda kerja ini menjadi jangkauan luas dan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk membawa setiap film pendek terbaik ke hadapan penonton yang apresiatif. Keterhubungan untuk mendukung karya yang beragam, juga untuk memantik diskusi-diskusi kritis untuk menciptakan ekosistem perlintasan iklim film pendek yang menyenangkan dan juga sehat.

Melihat kilasan 10 tahun Indonesia Raja
Pada tahun pertamanya, Indonesia Raja 2015 berkolaborasi dengan tujuh programmer dari tujuh kota dan wilayah di Indonesia. Mereka adalah dari Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Purbalingga, Jakarta, dan Medan. Tercatat terjadi total 61 kali pemutaran dengan 3593 penonton.
Kemudian di tahun kedua, Indonesia Raja 2016 melibatkan 17 kerja programmer dari 15 wilayah dan kota, jumlah yang dua kali lipat dari tahun sebelumnya dengan total 108 pemutaran dan 2578 penonton.
Merangkum tiga tahun berikutnya, Indonesia Raja tahun 2017 sampai 2019 mencatat keterlibatan wilayah dan kerja programmer dalam rentang angka antara 9 sampai 12 programmer dan keterlibatan wilayah, dengan jumlah penonton hingga 2800 penonton.
Setiap tahunnya, Indonesia Raja selalu dievaluasi dan direvisi. Perubahan yang cukup signifikan terjadi memasuki tahun keenam, Indonesia Raja 2020, dengan sebuah langkah berani tim koordinator Minikino melepaskan sama sekali capaian target kuantitas programmer, menggeser fokus gerakan ini pada penguatan kualitas programmer dan kualitas jaringan kerja pemutaran.
Hingga berjalannya Indonesia Raja 2025, setelah mengalihkan target capaian kuantitas programmer, keterlibatan tiap-tiap daerah dan para pemrogram terlihat cukup konsisten. Tahun ini ada enam programmer dari enam daerah yang terlibat. Hampir sama seperti Indonesia Raja tahun sebelumnya. Namun tanpa Aceh yang tahun ini absen dari Indonesia Raja sebab terkendala mencapai jumlah pendaftaran film yang diperlukan dalam proses kurasi. Dengan berbesar hati, Akbar Rafsanjani sebagai programmer Aceh menyatakan bahwa keterlibatan Aceh tahun 2025 perlu dikaji dan dipelajari kembali. Kejadian ini amat disayangkan, namun dengan penuh harapan bisa memicu potensi Aceh untuk menggerakan sinema mereka di tahun-tahun berikutnya. Menurut Edo Wulia, perkembangan Aceh di setiap tahun berjalan memang terlihat stagnan kalau dibandingkan dengan Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan daerah-daerah lain yang konsisten hadir, dan menunjukan peningkatan kualitas.
Dalam situasi pasang surutnya Indonesia Raja pasca 2020 memiliki konsistensi yang berbeda-beda. Wilayah-wilayah yang cukup konsisten terlibat sejak 2021, yakni Aceh, Bali, Yogyakarta, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Padang Panjang. Tentu, ada pula penyesuaian di sana-sini, dengan naik turunnya jumlah penonton dan jumlah penayangan yang tidak selalu memiliki angka yang sama. Grafik kuantitasnya seperti bola yang pantulan pertamanya melambung tinggi, lalu semakin rendah dan terus menurun, dan menurun.
Pada tahun kerja 2019, Minikino selaku koordinator mencium gelagat adanya ketidak-konsistenan keterlibatan para programmer daerah yang selalu berganti-ganti setiap tahunnya, bahkan ada yang mengundurkan diri sementara lalu muncul kembali pada tahun berikutnya. Kondisi ini mendorong tim Minikino untuk mengganti strategi dari kuantitas menjadi kualitas. Memperketat proses kolaborasi dengan programmer dan mendorong persiapan yang lebih serius bagi para programmer daerah sebelum mereka dianggap siap menjalankan Indonesia Raja di wilayah masing-masing. Dengan demikian, diharapkan para programmer lebih memahami tantangan yang akan mereka hadapi, serta mampu menjalankan perannya secara berkelanjutan, bukan sekadar menangani Indonesia Raja untuk sebuah proyek pendek saja.
Kualitas yang terjaga dalam jangka menahun jauh lebih penting dari hanya sekadar kuantitas yang bersandar pada besaran angka namun tanpa sebuah proses yang berkelanjutan. Memperkuat jaringan kerja yang telah berlangsung untuk efektivitas program, walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, jauh lebih dibutuhkan untuk menunjang gerakan Indonesia Raja di tahun-tahun berikutnya. Mungkin yang memang diperlukan adalah stimulan untuk menjaga konsistensi Indonesia Raja, seperti perubahan kebijakan yang dilakukan pada tahun 2019, dengan menguatkan apa yang menjadi penggerak program ini, yakni para programmer itu sendiri.
Perihal keabsenan Aceh, misalnya. Mungkin itu tidak hanya sesederhana tidak ada film yang memenuhi syarat untuk Indonesia Raja. Bisa saja karena kendala sosialisasi, tidak ada yang tahu bagaimana dan apa dampak dari keikutsertaannya pada Indonesia Raja. Atau bahkan karena film-film yang diproduksi di Aceh ternyata kebanyakan memiliki durasi yang terlalu panjang untuk memenuhi tuntutan durasi sependek 20 menit yang diinginkan Indonesia Raja. Banyak faktor kemungkinan yang perlu penelitian lebih lanjut.

Apakah ini sekedar tugas programmer?
Kekuatan film pendek sebagai medium ekspresi, atau sebagai alat politik sosial yang bisa digunakan untuk bernarasi, berekspresi, dan membangun kesadaran kolektif tentang kondisi wilayah tinggal mereka dan seperti apa kondisi sosial dan budaya mereka di suatu masa tertentu.
Minikino dan para programmer Indonesia Raja telah lama dan akan terus berusaha menggandeng para pembuat film di setiap wilayah di Indonesia. Berusaha membawa setiap karya film pendek terbaik mereka untuk dipamerkan, dikelilingkan dan didiskusikan, supaya menjadi wahana yang menyenangkan untuk dinikmati, dan lebih jauh juga mendorong kegelisahan untuk meningkatkan kualitas film pendek Indonesia yang terus-menerus semakin membanggakan.
Semoga kerja keras ini bisa dikerjakan bersama-sama, dengan para programmer, para seniman dan pembuat film dan juga penontonnya.
Discussion about this post