Bandara Internasional Edinburgh, 10 Maret 2025. Kondisi langit cukup gelap dan udara begitu dingin menusuk, padahal waktu setempat menunjukkan pukul 10.15 siang hari. Saya mencoba membuka telepon genggam sembari menunggu bagasi keluar—temperatur udara menginjak angka satu derajat Celsius. Dingin yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Saya mengenakan jaket parasut hitam yang sengaja saya masukkan ke tas ransel sebagai tambahan untuk sweater yang tak dapat menghangatkan dan syal biru yang saya lilit menutupi leher. Pikiran saya bercampur aduk, memahami kenyataan jika akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di tempat yang jauh, yang sebelumnya tak terbayangkan, dan tempat di mana salah satu sutradara film favorit saya, Lynne Ramsay, berkarya: Skotlandia!
Teringat jelas adegan penutup dari Ratcatcher (Lynne Ramsay, 1999): James, anak berusia dua belas tahun yang sepanjang film mengalami rentetan peristiwa berat, diakhiri dengan kepindahan keluarganya ke rumah di hamparan ladang. James tersenyum menghadap kamera, dan film pun berakhir. Bagian penutup dari film panjang pertama Ramsay sangat berkesan dan kembali terngiang saat saya tiba di Skotlandia.Saya terdiam menikmati dua jam perjalanan menggunakan mobil menuju Cove Park, tempat tinggal pertama saya yang berada di kota Helensburgh. Total durasi perjalanan dari Indonesia kini menginjak dua puluh dua jam sampai saya tiba di Cove Park. Pikiran saya tentu cukup lelah, namun entah kenapa lanskap sungai dan rumah khas Eropa mengajak saya merenungkan kembali senyuman James di bagian akhir Ratcatcher — apakah dia senang dan bersiap untuk petualangan baru di kediaman barunya? Sama seperti saya saat itu, yang menanti peristiwa apa saja yang akan saya jumpai di program residensi pertama yang saya ikuti, Bali–Glasgow Filmmaker and Programme Exchange.

Pelajaran pertama dari Ibu dan Cove Park
Tempat tinggal saya selama residensi merupakan sebuah kotak kontainer yang dirancang menjadi kamar nyaman dengan pemandangan danau serta pegunungan. Saya langsung melakukan panggilan video dengan Ibu saya untuk mengajak room tour alias pamer kamar, Ibu saya terpukau karena pemandangan yang kontras berbeda dibandingkan tempat tinggal kami di Semarang yang saling berhimpitan dengan suhu panas ciri khas pemukiman pesisir pantai utara Jawa. Ibu saya terpukau melihat pemandangan bak negeri dongeng—sangat kontras dengan tempat tinggal kami di Semarang yang sesak, rumah-rumah saling berhimpitan, dan suhu panas khas permukiman pesisir utara Jawa.Namun, yang membuat saya terharu bukan ekspresi Ibu melihat lanskap indah itu, melainkan ucapannya yang tanpa sadar terekam saat ia lupa menutup panggilan: “Sakne bocahe dewean neng kono, kerjo abot seng rak pernah dilakoke.” Ibu khawatir. Ini adalah kali pertama saya pergi jauh untuk waktu lama, di mana semua urusan bertahan hidup harus saya tangani sendiri. Ucapannya membekas. Saya tersenyum haru dan menutup panggilan. Cove Park, tempat terpencil yang membuat saya merasa terisolasi, langsung memberikan pelajaran pertamanya.
Selama ini saya hanya fokus bekerja untuk kebutuhan sehari-hari. Film terasa hanya menjadi pelarian, pemenuhan ambisi personal. Saya lupa menghargai waktu bersama orang-orang terdekat. Rasa bersalah itu mendorong saya mengirim pesan terima kasih kepada mereka yang selalu menemani proses saya membuat film—terutama pasangan saya, Annisa Dewi.
Kawan-kawan baru
Saya kebingungan soal menu berbuka puasa di hari keempat residensi. Bersama Nicola (programmer Cove Park) dan kawan baru bernama Ayo Akingbade, kami memutuskan belanja ke kota. Ayo banyak berbagi soal masakan. Obrolan kami berkembang menjadi diskusi film. Kami sama-sama menyukai sutradara Portugal, Pedro Costa, terutama film Casa de Lava (1994).
Referensi Ayo sangat menarik—banyak menyebut sutradara-sutradara klasik Eropa. Namun percakapan kami terhenti karena udara Cove Park makin dingin sore itu.

Sambil menyiapkan menu berbuka, saya penasaran siapa sebenarnya Ayo. Saya mencari tahu lewat internet, dan terkejut: Ayo adalah pembuat film yang karyanya diputar di Cannes Film Festival, International Film Festival Rotterdam, hingga mendapat special mention di International Short Film Festival Oberhausen 2017. Fakta ini membuat diri saya bersemangat untuk tumbuh lebih jauh dan lagi – lagi saya merasa diingatkan perihal sikap rendah hati bagi seorang pengkarya dari pertemuan dengan Ayo Akingbade hari itu.
Di Cove Park, saya juga berkenalan dengan Melanie Stidolph, seniman fotografi, dan Moira Nisson, seniman tekstil asal Swedia. Moira membuat karya tekstil dengan mengadaptasi gradasi warna pegunungan di seberang Cove Park—hijau dan coklat yang terhubung indah. Saya terinspirasi mengadaptasi metode ini untuk mise-en-scène film saya berikutnya.
Ayo dan Melanie merupakan inspirasi saya belajar mengenai metode kekaryaan yang unik dan belum terpikirkan sebelumnya.
Melanie sedang menyiapkan film dokumenter pendek pertamanya. Ia bercerita tentang usaha untuk memastikan bahwa setiap foto yang ia ambil dapat memberi kehangatan pada subjeknya kelak. Detail seperti tawa dan sentuhan menjadi perhatiannya.
“Saya lagi di fase stuck. Saya selalu mendorong diri untuk menghadirkan kebaruan di tiap film saya,” ujar saya.
“Apakah kamu tidak senang dengan proses film-mu selama ini? Aku pikir, selama kamu terus membuat film, itu adalah pembelajaran baru untukmu,” jawab Melanie.

Ucapan Melanie membawa saya mengenang film pertama bersama teman-teman. Perasaan yang tak terbebani, karena kami menyukai prosesnya. Nuansa kegembiraan itulah yang turut saya temukan dalam film – film yang diputar dalam perhelatan Glasgow Short Film Festival 2025 nantinya.
Pengalaman Multikultural di Glasgow
Hari terakhir saya di Cove Park, hujan turun. Pertama kalinya selama saya di Skotlandia. Perasaan kosong melanda. Meski sejenak, Cove Park memberikan pengalaman mendalam. Selain saya mendapatkan ide untuk merombak struktur cerita film pendek baru saya, tempat ini seolah menjadi tempat istirahat untuk saya menyegarkan pemikiran dan mengenal kembali diri saya. Bertemu dengan teman-teman seniman lintas budaya, para perempuan powerful dan mereka sangat menyambut baik saya, sebagai satu-satunya laki – laki yang residensi saat itu membuat saya terharu dan memahami bagaimana rasa kolektif antar seniman meleburkan batas gender dan suku bangsa.
Di minggu kedua, saya pindah ke kota Glasgow. Kesan pertama: multikultural. Saya yang kini menjadi minoritas justru merasa gembira—tanda bahwa saya akan bertemu banyak orang dari latar belakang beragam.
Satu hal yang kemudian membuat saya kian jatuh hati adalah fasilitas arsip yang luar biasa. Kerja – kerja pengarsipan yang saya temui di Scottish Screen Archive sungguh sangat mendorong saya untuk melakukan hal serupa di Kota Semarang. Selain film dokumenter sejarah penting Kota Glasgow, beragam materi audio visual seperti film pendek komunitas, hasil produksi kine kampus, hingga video ajar pengenalan sinematografi turut diarsip lengkap dengan dokumen shotlist tiap detik, sinopsis dan informasi siapa orang – orang yang mengerjakan di baliknya.

Glasgow Short Film Festival adalah festival internasional pertama yang saya hadiri dengan membawa film sendiri. Festival yang sangat intim, berkenalan dan berbincang hingga larut malam mengenai film – film yang barusan ditonton bersama. Saya gembira bisa bertemu pembuat film dari berbagai negara dan bertukar referensi. Aktivitas inilah yang kembali mengisi daya semangat untuk mengeksplorasi ragam tutur sinema dari berbagai negara. Kesenangan ini juga mengubah cara saya menikmati film: dari yang semula fokus pada cerita dan konteks, kini juga perlahan menikmati pengalaman menonton film itu sendiri.
Ingat Untuk Bergembira
Semangat independen saya rasakan di film-film yang disajikan Glasgow Short FIlm Festival 2025. Bukan soal minimnya budget, tapi kegembiraan dan ketulusan dalam mengolah cerita. Keberpihakan yang utuh. Eksperimen bentuk tak terpaku nilai produksi tinggi, namun ketulusan berkarya adalah nilai produksi itu sendiri.

Menjelang akhir perjalanan saya di Glasgow, hujan kembali turun. Sama seperti waktu saya meninggalkan Cove Park, penanda perpisahan. Menjadi minoritas dan jauh dari tempat tinggal, membuat saya lebih peduli mengenai makna kesendirian hingga mendorong saya untuk lebih menikmati tiap proses dan momen bersama dengan orang – orang di sekitar saya.
Sebagai pengajar ekstrakurikuler film di SMA, percakapan dengan Alia Ghafar—yang juga seorang pengajar—menginspirasi saya untuk mencari metode pengajaran yang tepat dan menyenangkan. Di tempatnya, negara menyusun silabus untuk anak sekolah. Berbagai materi seperti macam bentuk film pendek, termasuk eksperimental, sudah diajarkan ke teman-teman pelajar yang mengikuti ekstrakurikuler film.
Yang tak kalah seru, pertemuan saya dengan Matt Lloyd, Direktur Festival Glasgow Short Film Festival, juga memberikan kesan tersendiri. Sikap santainya selama mendekati dan saat festival mengajarkan saya untuk lebih tenang.
“Apakah kamu senang akhirnya festival selesai dengan lancar?”
“Emm tentu. Saya selalu senang setiap saat,”jawab Matt sambil tertawa
Saya yang mudah overthinking belajar dari Matt bahwa terkadang, kita hanya perlu menikmati proses.
Jujur, dalam mempersiapkan perjalanan ini, saya dipenuhi ketakutan—soal bahasa, soal bertahan hidup. Tapi saat perjalanan pulang, entah mengapa saya sudah merindukan kota Glasgow yang menumbuhkan rasa nyaman untuk tumbuh dan belajar.
Mungkin James dalam film Ratcatcher tak akan setuju dengan statement dan kesan saya mengenai Glasgow, karena ia harus bertahan di sisi buruk perkotaan di Skotlandia, saya malah berpikiran senyuman James terakhir adalah caranya mengelola kesedihan untuk tetap bertahan, ia tampak mengingatkan penonton untuk terus bertahan meski kehidupan kian tak memihak.

Saya ingin menutup artikel ini dengan ucapan terima kasih:
Untuk Kak Cika, yang mendorong saya berani melangkah lebih jauh—saya akan terus tumbuh, Kak!
Untuk Kak Dyana dan tim Minikino, yang memberi kepercayaan kepada saya untuk bergabung di program Bali–Glasgow Filmmaker and Programme Exchange.
Untuk Annisa Dewi, pasangan dan produser saya, yang mengajari saya masak nasi goreng dan membantu semua persiapan keberangkatan.
Untuk kawan-kawan dekat saya—Ivan, Arfi, Intan, Gemma, Dimas, dan Gleinda—terima kasih telah menjadi bagian penting dalam proses filmmaking saya hingga saat ini. Mari terus tumbuh dan berkarya bersama!
Untuk Mas Ucu, Mas Yogi, dan Mas Rizal, yang membekali saya dengan pengalaman mereka ke Eropa.
Untuk Mas Anggi Noen, yang memberi surat rekomendasi—terima kasih sudah percaya.
Terakhir, untuk Ibu saya, yang selalu mendoakan dan mengkhawatirkan anak laki-lakinya. Sedewasa apa pun saya, saya tetap anak kecil di matanya. Love!
Semarang, 14 April 2025
Haris Yuliyanto
editor: Fransiska Prihadi
Discussion about this post