Jujur, saat pertama kali mengetahui format program Pop Up Cinema oleh Minikino Film Week, saya sedikit skeptis. Saya pikir, jika Pop Up Cinema bertujuan untuk membawa akses menonton ke masyarakat di tempat-tempat yang minim akses ke pemutaran film (dalam hal ini ke desa), lantas untuk apa mengajak filmmaker-filmmaker asing ikut? Hal ini hampir terlihat seakan Pop Up Cinema hanyalah bagian dari kegiatan turisme lain yang mengkomodifikasi citra eksotis desa-desa di negara dunia ketiga. Namun, sepertinya tidak bijak untuk berkesimpulan terlalu cepat.
Skeptisme itu tentunya muncul dari perspektif saya yang hanya memandang Pop Up Cinema dari luar, tanpa benar-benar pernah mengikuti perjalanannya secara utuh. Menjadi bagian dari Minikino Film Week 9 Festival Writers, saya berkesempatan untuk mengikuti perjalanan Pop Up Cinema tahun ini—sekaligus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan skeptis yang sebelumnya muncul.
—
Sabtu (16/09) itu adalah hari pertama Minikino Film Week 9 setelah pembukaan. Menuju jam 10 pagi, satu per satu peserta tur datang ke MASH Denpasar yang menjadi titik kumpul rombongan. Sesi pertama kemudian dimulai dengan absensi dan pembagian sarapan. Saat sesi absensi inilah, saya mulai menghafal nama dan wajah orang-orang dari berbagai negara yang akan bersama-sama melakukan perjalanan dengan saya. Dari Kanada, ada Kelly Lui, film programmer Toronto Reel Asian Film Festival dan Jennifer Su, koordinator program Unsung Voices yang juga merupakan bagian dari Toronto Reel Asian Film Festival. Lalu ada Diana Menestrey, seorang filmmaker animasi dari Kolombia yang ditemani pasangannya, Viktor Baumgärtner dari Jerman. Kemudian ada Li Ji Tian, seorang filmmaker animasi dari Taiwan dan Sharon Kleinberg, filmmaker dari Meksiko. Lalu dari Indonesia, saya ditemani oleh Rain dan Aidil dari Ubud, Winner dan Tania dari Tangerang, serta Firman dari Denpasar.
Berkolaborasi dengan Melali Ke Desa, Pop Up Cinema tahun ini menambah beberapa titik destinasi dalam rencana perjalanannya. Salah satunya adalah destinasi pertama yang kami datangi, yakni Banjar Dinas Kekeran, Desa Penatahan, Tabanan. Di sana, kami dipertemukan dengan perempuan-perempuan dari Kubu Bali Women Crisis Centre (WCC). Ibu Buda, selaku perwakilan dari Kubu Bali WCC menjamu kami dengan hidangan makan siang, lalu mengajak kami untuk memahami posisi kedudukan perempuan pada sistem adat Bali yang patrilineal lewat sesi singkat di mana Ia membagikan pengalaman pribadinya di Bali WCC.
Ibu Buda bercerita bahwa sistem adat patrilineal di Bali, telah perlahan bergeser ke arah patriarkis, sehingga terus menerus menempatkan perempuan-perempuannya dalam kedudukan yang inferior. Ia menyebut, selama bertahun-tahun hingga 2010, perempuan Bali tidak memiliki hak asuh atas anak kandung mereka sendiri, juga hak atas pemindahan warisan. Limitasi sosial berbasis gender ini, membuat banyak masyarakat Bali yang khawatir apabila keluarganya tidak memiliki anak laki-laki.
Posisi perempuan yang inferior ini mengakar, dan berujung pada lahirnya kasus-kasus kekerasan berbasis gender dalam rumah tangga dan keluarga masyarakat Bali. Bergerak dari permasalahan ini, Kubu Bali WCC berdiri dan menjadi lembaga yang menyediakan pendampingan hukum, pendidikan paralegal, sekaligus memberdayakan perempuan-perempuan korban dari sistem patrilineal yang toksik ini. Selain itu, Ibu Buda juga menjelaskan meski sejak 2010 peraturan adat tertulis telah berhasil diubah dan memungkinkan perempuan Bali mendapat hak-haknya, namun mereka tetap harus konsisten melakukan mediasi secara langsung ke keluarga-keluarga di desa-desa pedalaman Bali.
Sebab menurut Ibu Buda, perubahan ini tidak bisa terjadi dalam waktu singkat via perubahan aturan tertulis saja, melainkan perlu adanya infiltrasi yang perlahan dan konsisten ke keseharian hidup masyarakat Bali yang cenderung mematuhi adat berbasis kebiasaan. Cerita yang dibagikan oleh Ibu Buda, memantik Sharon Kleinberg, salah satu peserta tur dari Meksico, untuk turut berbagi cerita tentang kondisi perempuan di negara asalnya. Sharon berbagi tentang kondisi perempuan di Meksico yang kurang lebih serupa dengan apa yang terjadi di Bali. Hal itu membuat Sharon merasa terharu sekaligus senang mendengar usaha-usaha yang dilakukan oleh Kubu Bali WCC.
Kunjungan kami di Kubu Bali WCC ditutup dengan pemberian buah tangan berupa eco dupa, yang diproduksi perempuan-perempuan Kubu Bali WCC sebagai bentuk usaha pemberdayaan yang mereka lakukan. Lalu sebelum berpindah ke destinasi selanjutnya, kami juga diajak melihat tempat produksi dupa secara langsung, yang berlokasi tidak jauh dari tempat pertemuan utama. Meski keberadaan dan topik yang dibawakan oleh Ibu Buda terkesan asing di kepala saya, namun kehangatan dari Kubu Bali WCC dari awal bertemu hingga sebelum berpisah, mampu menyamarkan keasingan tersebut dan membuat saya menaruh rasa peduli terhadap apa yang mereka perjuangkan.
Destinasi selanjutnya adalah Yeh Panes, sebuah tempat pemandian air panas alami yang merupakan warisan keluarga antar generasi sejak tahun 1990-an. Berbekal informasi yang saya dapat dari website Melali ke Desa tersebut, saya cukup senang mengetahui bahwa ongkos yang dikeluarkan baik dari kantong Minikino maupun kantong pribadi dari masing-masing orang dalam rombongan, teralokasi ke masyarakat lokal Bali, bukan kepada pihak lain yang hanya memanfaatkan sumber daya alam dan manusia setempat.
Usai mandi air panas, kami berlanjut ke penangkaran burung hantu spesies Tyto Alba di Desa Pagi, Tabanan yang dikelola oleh Pak Kadek Enjoy. Selain bertujuan untuk memelihara spesies burung hantu Tyto Alba, penangkaran ini juga menurut Pak Kadek Enjoy merupakan bentuk dari usaha mengendalikan populasi hama sawah demi menjaga ekosistem sawah yang menjadi mata pencaharian masyarakat sekitar. Pak Kadek Enjoy secara spesifik menggarisbawahi penggunaan terma “mengendalikan”, bukan membasmi ataupun membunuh karena kepercayaan orang Bali yang dilarang untuk membunuh sesama makhluk hidup.
Setelah sesi bercerita, Pak Kadek Enjoy memperbolehkan kami untuk melihat burung hantu dan tempat penangkarannya dengan lebih dekat. Sebagian besar dari kami antusias untuk melihat burung-burung hantu itu dengan lebih dekat, sebagian kecil, seperti saya, memilih untuk memerhatikannya dari jauh. Di satu waktu, salah satu peserta tur yang berasal dari Jerman, Viktor Baumgärtner, berbincang sebentar dengan saya selagi memerhatikan burung hantu dari kejauhan. Perbincangan dimulai dari keingintahuan Viktor terhadap fungsi dan motivasi dari bentuk arsitektur atap rumah adat Bali, yang kebetulan ada di sekitar tempat penangkaran itu. Pertanyaan tersebut, tentunya tidak bisa saya jawab. Saya hanya menjawab dalam asumsi-asumsi, dengan membandingkannya dengan karakteristik rumah adat wilayah lain di Indonesia yang memiliki gaya arsitektur serupa.
Perbincangan tersebut menyadarkan saya bahwa, saya tak ubahnya juga merupakan seorang turis asing yang tidak mengenal Bali. Umumnya, saya akan mudah mengkotak-kotakkan mana yang turis asing dan mana yang tidak, hanya berbasis apakah ia dari Indonesia atau bukan. Namun, ketidakmampuan saya dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan Viktor, menaruh diri saya sendiri pada kotak ketidaktahuan yang sama dengan para turis yang saya anggap “asing karena bukan-dari-Indonesia” ini.
—
Langit perlahan menggelap, waktu yang tepat untuk kami berangkat ke destinasi akhir yakni tempat pemutaran Pop Up Cinema di Desa Pagi. Sesampainya di sana, layar telah berdiri tegak dan di depannya telah duduk segerombolan anak kecil dari sekitar situ. Mereka tampak antusias menunggu pemutaran dimulai.
Perjalanan Pop Up Cinema kali ini yang bertajuk Journey to Desa Adat Pagi, membawakan program berisi 8 judul film pendek yang dipilih langsung oleh MFW Travelling Festival Director, I Made Suarbawa atau akrab dipanggil Birus. Film-film tersebut antara lain: 11 (Vuk Jevremovic, Germany, 2022), Blue Poetry (Heri Fadli, Indonesia, 2023), Luce and The Rock (Britt Raes, Belgium, France, Netherlands, 2022), Spirit Of The Forest (Nandini Rao, India, 2022), Berry Pickers (Agnes Skonare Karlsson, Sweden, USA, 2022), Senandung Senyap (Riani Singgih, Indonesia, 2022), Svêtla (Jitka Nemikinsová, Czech Republic, 2023), I’m Not Afraid! (Marita Mayer, Germany, Norway, 2022).
Pemutaran lalu dimulai. Seiring berjalan, reaksi-reaksi dari anak-anak dan warga sekitar saat menonton, menarik perhatian saya lebih dari film-filmnya sendiri. Momen tersebut meyakinkan saya bahwa Pop Up Cinema adalah bagian penting yang harus ada setiap tahunnya, sebagai manifestasi dari visi festival yang ingin menciptakan ruang pertemuan tanpa sekat.
Pada akhirnya, serangkaian destinasi dalam perjalanan ini membuktikan kekeliruan perspektif skeptis yang timbul di kepala saya sebelum perjalanan. Pop Up Cinema yang berkolaborasi dengan Melali Ke Desa ini tidak jatuh dalam konsepsi turisme yang mengeksploitasi eksotisme seperti yang saya kira. Sebaliknya, turisme tipe ini dibangun tanpa rekayasa. Hanya mengajak kami untuk melihat dan mengenal kultur dan kebiasaan lokal yang terjadi apa adanya, tidak dibuat semata-mata untuk kepentingan wisata—tidak pula bersifat parasit yang membunuh satu sama lain. Di sisi lain, turisme jenis ini justru membantu keberlangsungan dan stabilitas hidup masyarakat lokal itu sendiri.
Tempat-tempat yang dirancang untuk kami datangi sebelum menonton bersama warga lokal, juga menurut saya memiliki fungsi khusus dalam penyambungan jarak antara kami yang “asing” ini agar bisa lebih mengenal dan memahami kultur di mana kami meminjam tempat untuk (ikut) menonton. Serta mempertegas kembali poin bahwa Pop Up Cinema utamanya dibuat untuk masyarakat desa, oleh karena itu segala rangkaian perjalanannya bermuara pada tujuan mengenal kultur dan masyarakat desa itu sendiri.
Akhir dari perjalanan ini meninggalkan dua perasaan yang sama kuatnya: malu dan bersyukur. Memalukan rasanya memergoki diri sendiri sebagai orang asing, ketika mengingat bahwa sebelum perjalanan, sayalah yang mempermasalahkan keberadaan filmmaker-filmmaker asing pada perjalanan ini. Pertanyaan Viktor hanyalah satu dari beberapa pertanyaan lain seputar kultur yang saya terima sebagai salah satu orang Indonesia selama perjalanan. Dan lagi-lagi, tak satupun bisa saya jawab dengan pasti. Namun di sisi lain, saya bersyukur karena perjalanan ini membebaskan saya dari paradigma yang salah dalam memandang perihal asing-tak asing menyoal identitas.
Discussion about this post