Blue Poetry (2023) adalah salah satu film dengan penayangan terbanyak di Minikino Film Week 9 (MFW9), termasuk dalam acara Opening Night. Film pendek yang disutradarai Muhammad Heri Fadli ini World Premiere di MFW9 dan juga memenangkan hadiah utama Raoul Wallenberg Institute (RWI) Asia Pacific Awards di MFW9. Bercerita tentang kegelisahannya terhadap polusi plastik di laut, film pendek ini mengambil pendekatan narasi surealis dalam menyampaikan gagasannya.
Heri pernah berkeliling dunia karena film pendeknya, Jamal (2020), yang datang dari kegelisahan sosial di tempat asalnya, Lombok. Film terbarunya ini, Blue Poetry, mengikuti jejaknya. Tidak hanya dalam pencapaian, Blue Poetry juga mengangkat isu yang berakar dari kegelisahan Heri melihat kondisi lautan Lombok.
Sebagai filmmaker, menuturkan cerita ialah salah satu keahlian Heri. Dengan gagasan kompleks dan cara gaya tutur yang sama uniknya, proses kreatif di balik Blue Poetry layak mendapat lampu sorot. Di MFW9, Minikino Film Festival Writer Natania (Nia) Marcella berbincang dengan Heri Fadli tentang proses tersebut.
Nia: Biasanya dengan isu seperti krisis iklim, beberapa filmmaker pendekatannya mungkin untuk membuat dokumenter, tetapi Kak Heri membuat film fiksi yang pakai simbol. Apa yang membuat Kak Heri memutuskan itu?
Heri: Pertama, karena kita tuh orang Indonesia, kecenderungannya adalah menyindir. Jadi, saya ingin pakai pendekatan menyindir. Jadi, saya sering merasakan hal yang sama, di mana saya dikasih peringatan atau dinasehati orang secara langsung, dan itu cenderung tidak masuk. Namun, dengan perasaan tersindir, kadang kita mau marah juga belum tentu kita yang disindir, tetapi merasa kena ketika disindir. Jadinya, lebih cepat kena aja dan tambah kesal dengan sindiran. Karena, kalau cuman bercerita biasa gitu, orang akan “Oh ya begini ya.” tahu sebatas tahu saja, tetapi tidak kena. Saya ingin setelah nonton, penonton itu seperti merasa tertampar.
Nia: Berarti yang mau disindir memang masyarakatnya sendiri ya?
Heri: Bukan masyarakat sih, melainkan semua manusia, karena itu [sampah plastik] adalah hasil dari kebiasaan kita semua.
Nia: Ini juga menarik, karena aku sempat bahas di artikel tentang Blue Poetry di minikino.org/articles bagaimana penanggung jawab terbesar sampah adalah perusahaan-perusahaan besar kapitalis di dunia. Dan sekarang banyak dari mereka sudah mulai greenwashing image mereka.
Heri: Kalau menurutku justru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang buat go green apa segala macam itu formalitas saja untuk menjaga nama baik. Itu bagian dari marketing saja.
Salah satu contohnya adalah, plastic bag tercipta supaya orang tidak sering mengganti-ganti tas pada jaman dulu. Makanya diciptakan plastik bag yang dia gampang dilipat-lipat, bisa dimasukkan kantong, terus akhirnya kita tidak perlu mengganti-ganti tas kita yang besar yang susah dilipat-lipat. Plastic bag itu diciptakan sebenarnya untuk itu, tetapi manusia menggunakannya justru tidak begitu.
Jadi sekarang kita menggunakan [plastic bag] satu kali pakai. Padahal, sebenarnya kalau kembali ke tujuan utama kenapa plastic bag itu dibuat, itu untuk supaya kita nggak sering mengganti-ganti tas. Kita bisa pakai, lalu dicuci, dilipat, dijemur, disimpan di kantong kan juga hemat space. Jadi, itu cara-cara perusahaan marketing saja. Buktinya saja mereka nggak ada perubahan.
Nia: Nyatanya malah tiap tahun makin meningkat juga. Berhubungan juga dengan itu, kalau bikin film fiksi pastinya pendekatannya beda-beda. Dan dengan isu sebesar ini, itu kan udah otomatis dari awal Kak Heri tahu ini bakal jadi film kritik. Pendekatannya bagaimana sih membuat film kritik?
Heri: Pendekatan siapa dulu?
Nia: Sebagai filmmaker yang menempatkan film sebagai kritik.
Heri: Sebetulnya semua dimulai saat 2019, pada saat pemilihan gubernur serentak. Pada saat itu saya diberikan pekerjaan oleh salah satu calon untuk membuat satu video tentang go-green. Dalam pengerjaan video itu, saya tidak pernah expect akan menemukan hal separah itu di Lombok. Saya memang explorer dari dulu. Dari 2010, saya sudah pergi ke semua tempat. Bahkan, Pantai Pink di Lombok, saat itu saya salah satu yang upload di Facebook pertama kali. Di kesempatan itu, di daerah Lombok Barat, pantainya bersih, putih, pulau-pulaunya bagus.
Kebetulan saat itu kita numpang makan dulu di rumah teman, teman yang akan bawa kita kemana-mana, saya diperjalankan gratis kemanapun oleh dia di pulau-pulau itu—bawa drone, bawa kamera. Setelah saya makan malam itu, hampir jam 5 lah, baru kita berangkat. Di situ perahu kita nggak bisa jalan karena sampah-sampah bertumpuk di teluk itu. Jadi, baling-baling perahunya harus dinaikkan lalu harus pakai kayu mengayuhnya, karena kalau kita turunkan baling-balingnya, itu pasti akan penuh sama sampah.
Ternyata, itu sampah kalau jam 6 sore kumpul di teluk itu, kumpul sampai jam 3, jam 4, lalu baru menyebar lagi ke tengah laut. Terus sorenya ngumpul lagi. “Separah ini ternyata”, karena saya suka snorkeling juga di daerah-daerah itu, dan saat snorkeling itu saya nggak pernah menemukan hal seperti itu.
Akhirnya, mulailah riset. Pada 2019 itu saya mulai mikir-mikir tentang, “Kayaknya perlu bikin film tentang sampah deh.” Tapi saya berpikirnya, saya enggak mau bikin yang, datang ambil footage terus memperlihatkan sampahnya… dan saat itu, saat baru mulai develop naskah, baru draft 1 kalau gak salah waktu itu, Covid menyerang.
Pada saat itu saya nggak bisa ke mana-mana. Project itu saya hold. Kemudian dari pada nggak ngapa-ngapain, karena waktu itu juga ada tugas kuliah dari pemerintah, akhirnya lanjut lah kuliah ke Malaysia. Di situ, sembari menyelesaikan projectnya, sebetulnya kuliahnya juga online juga di sana, tapi pemerintah maunya saya harus berangkat. S1 saya Komunikasi, Budaya Media Kreatif, dan S2nya di Fakultas Art and Design, Visual Communication dan New Media. Jadi, saya belajar tentang lukisan Van Gogh, belajar tentang Marilyn Monroe, dan lain-lain. Kemudian, juga belajar tentang perkembangan media.
Di saat yang bersamaan, kebetulan film Jamal udah selesai syuting. Lalu, Covid menyerang. Jadi, film Jamal itu saya distribusi pada saat kuliah. Capek baca artikel, capek baca literatur dan lain-lain, pindah ke website submission film untuk submit itu film. Akhirnya, dapat kesempatan, dapat undangan berangkat—harusnya berangkatnya ke Austria, Finlandia, Amerika dan Busan pada saat itu, tapi karena Malaysia strict sekali, Kuala Lumpur lockdown total, sayangnya saya tidak bisa berangkat.
Setelah selesai lockdown, saya hanya bisa berangkat ke Finlandia. Berangkat dari Finlandia itu nonton banyak film. Mungkin tontonan itu yang mensubsidi otak saya menjadi aneh. Jadi, saya pergi ke Finlandia nonton hampir 300 film. Kemudian pada saat ke Mini Film Festival di Sarawak, Malaysia, nonton lagi film. Terus di Minikino tahun lalu, nonton lagi film. Akhirnya itu yang build up, sekitar 600 film yang saya tonton di setahun itu.
Akhirnya, itu yang dipakai, “Oh ini kayaknya bisa dipake, kayaknya bisa ditambahin begini.” Baru lah— Oh iya, sebetulnya itu harus diproduksi di 2021. Namun, saya tidak bisa pulang karena lockdown, jadi ditunda 2 tahun. Baru lah syuting kemarin saat akhir tahun sampai Januari. Post-production selesai di bulan Maret.
Nia: Untuk pendekatan membuat film berupa kritik, apakah ada kesan harus hati-hati atau melainkan, langsung saja tembak dengan kritik?
Heri: Saya selalu mikirnya begini. Ketika menciptakan sesuatu, nanti ketika saya mati dan sesuatu itu tidak punya manfaat, apa gunanya saya ciptakan? Ya, bisa saja, pernah sih, buat film-film mellow tentang cinta-cintaan. Saat saya nonton lagi, mikir, “Sialan, kenapa otak saya sampai ke situ? Kenapa saya harus membuat film-film kayak gitu?” Nah, akhirnya saya mikir, “Apa sih manfaatnya saya untuk orang lain ketika berkarya? Apakah hanya nyari nama doang? Atau hanya nambah-nambah portofolio doang?”
Akhirnya, di situlah, diingatkan juga sama kata-kata almarhum Bapak: “Apapun yang kamu lakukan, kuncinya cuma dua: kerja keras dan jujur.” Kalo kamu jujur dalam bercerita tanpa embel-embel ingin terkenal, karyamu akan berbicara. Bener, saya begitu ketika buat karya. Jadi, mau ada kritik apa enggak, ya… resiko sebagai pengkarya. Tugas kita sebetulnya bukan [berhadapan dengan] resiko, sih. Ketika seniman, pengkarya, tidak diberikan ruang untuk bercerita, negara itu tidak akan pernah jadi negara hebat. Karena suatu daerah, suatu negara itu dapat diukur dari kualitas film pendeknya.
Discussion about this post