Sejatinya festival film memang ada sebagai wadah pertemuan antara pembuat film dan pegiat film. Melalui tulisannya Film Festivals: Culture, People, and Power on the Global Screen (2011), Cindy Hing-yuk Wong menyebutnya sebagai ajang transnasional dalam satu wilayah dengan waktu yang relatif singkat. Masalahnya adalah Cindy juga menjelaskan bagaimana festival film seringkali kontradiktif dalam pelaksanaannya. Sebab selain menjadi wadah bagi gaung-gaung yang terpinggirkan untuk bersuara melalui film dan programnya, para penyelenggara festival juga acap kali memfasilitasi budaya “glamour” untuk turut tampil menjadi headline-individualistik mereka di hampir semua media.
Di Indonesia, hal ini juga pernah dipermasalahkan oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI) terhadap Festival Film Indonesia (FFI) 2007 karena menganggap tidak ada timbal balik lebih antara keglamoran festival dengan apresiasi terhadap film-film yang ditayangkan selain sebatas sebuah penghargaan berbentuk piala. Saat itu pemboikotan MFI juga berkaitan dengan tuntutan mereka terhadap Lembaga Sensor Film (LSF) dan UU Perfilman yang dianggap bertentangan dengan semangat dan perlindungan HAM.
FFI sendiri yang sejak 1973 menjadi representasi kehadiran negara untuk industri dan insan perfilman nasional masih seringkali dianggap hanya sekedar perayaan sinema elit nasional (formalitas) tanpa dukungan yang nyata di lapangan bahkan akar rumput perfilman itu sendiri. Yang kemudian membuat adanya resistensi dari beberapa daerah diluar Jakarta terutama di masa pasca reformasi, seperti Yogyakarta dan Bandung dengan kemunculan beberapa festival penting non pemerintah dengan pendanaan yang lebih mandiri.
Munculnya Jakarta International Film Festival (JiFFEST), Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), Festival Film Dokumenter (FFD), Arkipel Int’l Documentary & Experimental Film Festival, Minikino Film Week (MFW), Konfiden, Boemboe dan lain sebagainya yang berawal dari inisiatif beberapa organisasi dan komunitas film di luar pemerintahan. Hal ini merupakan bukti dari kebutuhan ruang yang lebih “egaliter” tersebut. Sementara itu di luar Indonesia, masih ada S-Express (yang juga ada di Indonesia), Singapore International Film Festival, Seashorts Film Festival, Hanoi International Film Festival, Yxine Film Festival, dan lainnya yang tentu usia kemunculannya berbeda-beda dengan warna yang berbeda pula.
Namun walaupun dilatarbelakangi oleh sejarah, situasi sosial, dan program yang memiliki ciri khasnya sendiri. Kemunculan festival film non pemerintah ini juga merupakan usaha kolektif dalam menciptakan ruang apresiasi film yang lebih egaliter dari sebelumnya. Permasalahannya datang ketika para pemangku kebijakan festival ini harus mempertahankan gaya “egaliter” nya ketika berhadapan dengan fenomena digital saat ini. Dan hal ini tentu berkorelasi dengan bagaimana para pemangku kepentingan di industri film menganggap serius kemunculan platform online video; ketakutan terhadap pembajakan, pengalaman sinematik yang berbeda, hingga jaminan aksesibilitas terus menghantui mereka, hingga akhirnya pandemi datang dan menghantam semua sektor ekonomi di dunia.
Festival Film, Pandemi, dan Hadirnya Budaya Menonton Online
Beberapa waktu lalu melalui program Minikino Hybrid Internship Festival Writers, saya berkesempatan untuk bertemu Marcus Manh Cuong Vu di Minikino, ia adalah festival director Yxine Film Festival, di Vietnam sejak 2014. Dan dalam perspektifnya, kebutuhan Yxine sendiri juga merupakan kebutuhan ekosistem film di Vietnam untuk berjejaring secara global sehingga bahkan dalam kondisi saat ini pun Yxine akan terus ada bahkan jika dalam bentuk online atau digital serta programnya juga akan menyesuaikan concern festival setiap tahunnya.
Menariknya, Marcus juga merupakan sosok yang aware terhadap fenomena digitalisasi hari ini. Bahkan ia sempat mengutarakan bahwa Yxine harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan digital itu sendiri demi mempertahankan keterbukaan. Akses global bagi para filmmaker lokal di Vietnam ditengah pandemi yang mengancam jalannya industri perfilman menjadi penting untuk dibuka.
Kebutuhan untuk menstimulasi industri perfilman dan tetap terjaganya keterhubungan antar jejaring pembuat film itulah yang membuat festival harus tetap ada diantara kekhawatiran akan isolasi akibat pandemi. Masih hangat di ingatan kita juga bagaimana setiap negara saling menutup pintu masuk bagi warga negara asing, berkelindan dengan gonjang-ganjing ekonomi yang tidak menentu di setiap negara apalagi di negara dunia ketiga/berkembang. Adanya festival film bukan lagi tentang bagaimana mereka mempertemukan penonton dan material film, namun juga festival film sebagai tonggak penyangga industri dan mungkin nafas terakhir ketika produksi film dipaksa berhenti. Sehingga festival diharuskan menemukan cara dan metode baru untuk merekonstruksi ulang pola eksibisi dan distribusi film.
Festival film memang layaknya oase jika menilik peristiwa yang terjadi dua tahun lalu, Marcus Manh Chuong Vu, dengan Yxine mendorong program keterhubungan antara para pembuat film ini ketika ia berbicara: satu-satunya misi dia adalah terus membuka pintu bagi para pembuat film, bahkan jika melalui platform digital sekalipun. Karena hanya dengan itulah semangat membuat film tetap ada, dan industri tetap berjalan disaat “pintu-pintu” yang lain dilarang untuk dibuka oleh otoritas negara.
Barangkali jika melihat bagaimana festival mempertahankan gaya egaliternya dapat dilihat dari seberapa banyak forum diskusi, film lab, hingga project market yang dijalankan secara online pasca pandemi merebak. Hampir tidak ada satu festival film penting di dunia saat ini yang tidak pernah membuat program daring/hybrid. Semua merasakan dampak akan adanya pandemi dan mulai menemukan kebutuhan terhadap platform daring semacam OTT, atau VOD yang mungkin sebelumnya belum terlalu dibutuhkan karena belum ada urgensi terhadap fenomena tersebut dan kebutuhan kapital yang rasanya akan sulit terpenuhi.
Tidak dipungkiri memang fenomena pandemi cukup banyak merubah pola dan gaya festival-festival film. Bentuk konvensional festival film yang egaliter, harus berubah tanpa menghilangkan kepercayaan akan kebutuhan yang sama dan kesetaraan diantara para pembuat film. Apa yang dilakukan oleh Marcus dengan Yxine, serta beberapa festival di dunia lainnya, termasuk di Indonesia merupakan contoh bahwa Festival Film adalah ruang diskusi yang perlu tetap ada, ia akan muncul sebagai pintu masuk perkembangan film di masing-masing wilayahnya, tanpanya industri akan sulit bertemu penonton, dan tanpa penonton industri akan mati.
Discussion about this post