Pertama kali aku berkenalan dengan Amelia Hapsari, sutradara Acung Memilih Bersuara (2023), ia sedang mencari dompetnya dibantu oleh Cika, panggilan akrab Direktur Program Minikino Film Week, Fransiska Prihadi. Aku pikir, “waduh. Salah banget waktunya, ya? Jelek banget impresiku, orang lagi panik malah kenalan buat ngajak wawancara”. Aku si socially anxious ini jadi khawatir, dan aku hanya bisa berdoa bahwa kekhawatiran itu gak keliatan-keliatan amat ketika esok harinya (Jumat, 22/9), kami berjalan kecil dari MASH Denpasar ke kafe terdekat sembari basa-basi sebentar. Saking tersitanya perhatianku untuk membangun impresi yang lebih baik, tidak ada yang mempersiapkanku atas betapa passionate-nya ternyata seorang Amel di balik presentasi dirinya yang composed—kejutan kecil yang kusambut gembira.
Dalam tulisan sebelumnya tentang film Acung Memilih Bersuara, aku menawarkan untuk berpaling dari bahasan estetika film dan melihat film sebagai alat sosio-politis yang bisa kita lihat kemampuannya untuk menelisik perubahan material bagi subyek-subyek terkait serta memperkukuh agensi mereka sebagai individu. Untuk mengetahui seberapa efektif film dalam perspektif tersebut, bukankah dialog dengan pembuat filmnya menjadi salah satu caranya?
Kegembiraanku meningkat secara gradual seiring percakapan dengan Amel berlangsung—dengan passion Amel terhadap isu keadilan rasial untuk etnis Tionghoa, betapa mudahnya percakapan ini berlangsung seperti yang kubayangkan di kepalaku. Dalam percakapan ini, Amel dengan bersemangat, artikulatif, dan teguh memposisikan dirinya sebagai orang Tionghoa yang tak hanya menggiati isu, tapi juga mengalami langsung dan mewarisi trauma generasional atas opresi sistematis puluhan tahun.
Julie : Boleh Mbak Amel cerita latar belakang untuk mengangkat cerita Acung?
Amel : Sebenarnya ada cerita lain yang hendak diangkat, tapi ada beberapa kendala. Lalu aku bilang ada cerita Acung, namun aku sampaikan [ceritanya] dianimasikan saja karena akses terhadap orangnya sudah enggak ada. Aku punya nomor [Acung] yang jaman dulu. Nah, memang tidak semudah itu, karena orangnya tidak ada untuk ditanya-tanya, “Papahmu gimana? Toko fotonya bagaimana?” Harapannya kita menggambarkan seperti aslinya, meskipun di animasi. [Tapi kita] enggak bisa nanya, jadi harus riset, [termasuk] riset toko foto itu tapi yang kecil, karena dia bukan orang kaya. Lalu, kami mengadakan riset ke Pasuruan, untuk melihat seperti apa sih kotanya, kira-kira di mana dia tinggal, kalau mau adegan ini lokasinya di mana.
Kami juga lumayan kesulitan dengan berbagai macam opsi. Apakah kita mau berdasarkan rekaman [suara] wawancara Acung yang ada? Tapi cukup susah, karena waktu wawancara Acung aku masih umur 25, I was unexperienced. Waktu aku dengerin lagi wawancaranya, aku [berpikir], “kok aku nanyanya kayak gitu sih?” Gak terlalu bisa menggali. [Tapi aku] gak bisa menggali aja dia sudah cerita dengan sangat powerful bagi aku. Terus, “kok aku gak tanya itu, ya? Itu kan bisa ditanya lebih lanjut, kok gak aku tanyain?” Banyak yang kayak gitu. Sehingga, kalau mau pakai [rekaman wawancara] Acung itu kurang pas.
Ada juga opsi merekaulang wawancara, tapi buatku no point. Waktu itu wawancaranya pakai mini disc, jadi ketika ditransfer suaranya sudah tidak sebagus dulu. Aku pakai suara ini dulu untuk liputan radio dan suaranya bagus, sekarang suaranya kecil. Susah juga kalau audiens harus mendengarkan suara seperti itu. Makanya opsi itu dibuang.
Lalu [ada opsi lain] dianimasikan dengan suaraku saja, dan opsi itu akhirnya diambil. Itupun masih ada pertanyaan, apakah dengan adanya aku di situ yang mendapatkan ceritanya Acung, itu dimasukkan ke dalam cerita atau tidak? Awalnya aku tuh gak suka jadi narator, jadi pencerita, dan ada kata “aku”, karena the main story is about Acung, not about me. Kenapa kok ada aku? Kenapa sekarang aku menceritakan cerita ini? Tapi pada akhirnya aku sendiri yang mengambil keputusan-keputusan ini.
Cerita-cerita human rights ini, they are mostly dry because they don’t focus on the story development of the character. Ini ‘kan genrenya narrative non-fiction, harus ada creative core-nya. Akhirnya aku menemukan bahwa creative core-nya adalah agensi si Acung. Dia bilang from a very young age bahwa this is injustice, I don’t want to be a part of it. And he paid a high price for his agency.
Aku juga baru merefleksikan baru-baru ini ya. Hal yang aku tahu dari Acung itu wajahnya penuh kesedihan, tapi di matanya ada kemarahan dan ketegasan. Dia waktu itu cerita panjang soal Laksamana Cheng Ho, awalnya aku gak ngerti kenapa. Tapi ternyata Acung sebenarnya mau ngomong bahwa orang Cina itu bukan penjajah, it was a huge mistake for Indonesians think and treat us as such. Sebetulnya dia mau ngomong itu, tapi dia gak punya
vocabulary itu karena dia teropresi. Nah, itu bagian dari proses kreatif di mana sebagai pencerita kita harus mendalami si karakter kita.
Julie : Masih ingat perjumpaan pertama kali dengan Acung?
Amel : Masih banget. Waktu itu aku jurnalis radio, ada proyek yang merekam cerita-cerita orang Indonesia yang kembali ke tanah air. Istilahnya Guiqiao, Gui artinya kembali, Qiao artinya perantau. Banyak dari mereka bahkan gak bisa Bahasa Mandarin, tapi karena ditanamkan pada mereka bahwa tanahnya bukan Indonesia. Dari situ aku dipertemukan sama Acung, oleh sepupunya, lalu ngobrol-ngobrol dan merekam wawancara. Lalu ketemu lagi sama dia nonton pertandingan basket Cina melawan Yunani di stadion. Aku ketemu dia hanya dua tiga kali.
Julie : Aku mau mengaku dosa [terkekeh kecil]. Acung Memilih Bersuara adalah film pertamamu yang aku tonton. Jadi aku mau bertanya, seberapa sering Mbak Amel membuat film yang menyinggung racial injustice?
Amel : Sebetulnya dulu aku enggak mau ngomongin tentang isu yang hot. Awalnya aku bikin film tentang anak jalanan, lalu tentang nelayan. Aku pikir [isu diskriminasi Tionghoa] sudah banyak dibicarakan, waktu awal 2000 buuuuanyak film tentang itu, karena baru pertama kali boleh dibicarakan sesudah reformasi. There is a rising number of this kind of film. Jadi aku mikir aku enggak mau ke situ.
Nah, tapi baru mendapat kesempatan atau mendapat angle yang baru ketika di Cina, ketika kerja di Beijing. Baru di situ [perspektifku] terbuka. Oh wow, there is a wealth of stories yang enggak kita omongin. Sebenarnya dari situ belum ada yang jadi, terus malah ketemu Ahok dan ngikutin dia, jadi film itu duluan yang jadi, Fight Like Ahok (2012). Lalu kemudian ada film dokumenter personal, Akar (2013), baru Acung.
Kenapa [bikin film tentang racial injustice], pada akhirnya, injustice ‘kan bentuknya macam-macam dan di mana-mana. Tapi, aku baru berefleksi juga, ketika yang bikin orang “dalam”, orang yang mengalami diskriminasi itu sendiri, memang lebih otentik. Aku kayak gini bukan berarti aku enggak boleh bikin film tentang nelayan gitu, ya, tapi kalau yang bikin anak nelayan sendiri ceritanya akan jauh lebih strong. Kesadaran ini yang cukup humbling buatku, bahwa besok-besok kalau bikin film lagi harus lebih mendengar.
Julie : Soal otentisitas ini, aku jadi pingin bertanya, how do you resonate with the stories that you make?
Amel : Filmmaker itu kan hampir sama kayak aktivis. Ngapain panas-panas, teriak-teriak, udah pasti you look like a fool, but some
people do it anyway. Nah, filmmaker juga sama, mesti punya sesuatu. Kalau enggak ditemukan, akan terasa fake, superficial.
Selain itu, ada lagi yang kupelajari lewat menulis proposal. Selalu ditanya why you are the person who needs to tell the story. Jadi filmmaker-nya ini juga penting, pain dan agency dan koneksinya terhadap ceritanya. Dari situ aku juga belajar bahwa sebetulnya film-filmku ini juga channeling banyak hal dari aku. Kadang ia adalah pengukuhan terhadap banyak hal, kadang ia adalah pengingat, alih-alih mengingatkan penonton dia mengingatkan aku sendiri juga.
Waktu aku bikin Acung, aku banyak keraguan. Gak usah lah ngomong gini lagi, udah lah, ini kan cuma etnis Tionghoa aja, enggak usah begini lah, begitu lah. Selalu banyak keraguan, somehow at the back, takut kalau aku ngomong gini nanti gimana, ada yang enggak suka, nanti enggak dapat funding. Tapi this is also a reminder for myself that we cannot move forward as a nation if we are scared to acknowledge our own mistakes. Tapi mudah-mudahan pengingat ini juga resonate dengan yang lain.
Julie : Ada kendala tertentu dalam membuat film Acung?
Amel : Throughout the process there’s a lot of fear. Salah satunya adalah ini hard facts, dan kemungkinan diserang masalah pembuktian. Sedangkan data yang aku miliki hanya cerita Acung. Maka aku cari koneksi ke Pasuruan. Aku tanya-tanya, dong, tapi mereka ternyata gak ada yang mau cerita. Mampus, pikirku. Ada satu temenku yang dia bilang, “tanteku bilang Mel, dia gak mau kalau kamu tanya-tanya kayak gitu. Katanya dia masih kecil dan gak boleh keluar pada masa-masa itu. Karena sungai yang membelah kota itu isinya mayat-mayat orang Tionghoa.”
Ada masalah lain. Seorang pembuat dokumenter itu kan tidak boleh sembarangan menceritakan kisah orang lain, karena the story is the property of the individual. Kita harus punya rilis bahwa I entrust the story to this person; they can publish, modify, can do whatever with my story. Nah aku kan gak bisa hanya based on my encounter with Acung untuk publish story-nya. Terus ada hal-hal personal dengan ayahnya, will we be okay?
Akhirnya aku harus cari Acung. Sulit karena suami istri yang memperkenalkan aku sudah meninggal. Berat banget. Untung aku ingat detail perkenalan kami, jadi kami cari-cari, lalu akhirnya kami dapat kontaknya. Aku cerita, aku mau buat animasi, mau lihat? Terus dia nonton, aku tanya, “bagaimana tanggapannya, Om?” “Ya, bagi aku cukup baik.” “Apakah boleh, ini nanti mau premiere dan dipasang di YouTube?” dia bilang boleh. “Mau datang gak ke premiere-nya?” “Enggak”. Terus aku tanya, “kalau nanti ada wartawan yang mau tanya sama Om, boleh gak aku kasih nomornya?” Dia bilang, “Oh, iya, kalau mau tanya tentang kebenaran, boleh.” Jadi berdasarkan itu, the film is released.
Sebetulnya animasi itu juga melindungi, karena tidak melihatkan wajahnya, rumahnya di mana, keluarganya siapa, karena mereka semua itu terintimidasi. Ketika aku datang ke Pasuruan, memang kotanya kecil banget sih, sehingga the perpetrator can be a neighbor, you can see them all the time kalau kamu masih tinggal di sana. Dan waktu aku ke Pasuruan, enggak ada satu orang pun yang mau ngomong.
Ada lagi satu closure. Sesudah film itu rilis, dipajang di YouTube dan [linknya] disebar lewat WhatsApp, orangtuaku punya teman, dia bilang “terima kasih sudah kasih film anakmu.” Dia ini orang Pasuruan, keluarganya empat orang dibunuh di masa itu dan dia tidak bisa bicara sama seorang pun tentang hal ini karena enggak di-justify. Kayaknya we were on the wrong, that’s why we need to die, to suffer, to get our heads down. Film ini somehow justifying the pain and the injustice yang selama ini enggak bisa diungkapkan.
Jadi buat aku salah satu impact terbesarnya itu, meski mungkin kita belum bisa banyak hal, belum bisa mendesak untuk pengakuan dan segala macam. Tapi ketika itu justifying the pain, humiliation, and injustice that these people feel, itu juga sebuah impact.
Julie : Aku pun terpikir semacam pertanyaan itu, setelah film ini rilis, terus apa? Itu ‘kan semacam pertanyaan kita semua. Mungkin yang paling berhak untuk menjawabnya adalah filmmaker-nya sendiri, juga orang-orang yang diceritakan dalam filmnya atau orang-orang yang merasa punya struggle yang sama. Adakah cerita-cerita lain soal impact ini?
Amel : Di Minikino sendiri, yang datang anak-anak Tionghoa semua. Aku senang mereka datang dan bilang, “Iya, Mbak Amel, aku juga…” ‘kan sebetulnya trauma-trauma ini diturunkan dan menjadi intergenerational trauma. Ketika anak-anak muda yang jauh lebih berani menolak mewarisi ketakutan dari orang tua, mereka mulai mengerti mengapa ayah ibu mereka seperti itu, karena memang ada mesin represinya. Mereka mulai mau menceritakan, itu impact juga, sih.
Julie : Menyoal impact, aku juga ingin tahu. Tidak perlu dijawab detail, tapi orang-orang yang terkait dengan cerita itu, keadaan mereka bagaimana? Apakah mereka dalam keadaan aman setelah [filmnya] rilis?
Amel : Aman. Mungkin filmnya kurang ngetop, kurang viral. Enggak membuka tembakan, jadi enggak pernah ditembak. Tapi tujuan kita ‘kan bukan untuk ditembak.
Julie : Mungkin itu indikator yang baik, ya. Kalau kita bikin film terus pihak yang kita “filmkan” jadi terdampak buruk well-being atau kondisi materialnya, posisi kita sebagai filmmaker seperti apa, dong. Jadi itu indikator yang oke, dan aku kepingin tanya keadaan mereka aja.
Amel : Saat rilis dan diputar di kalangan non-Tionghoa, ada satu pertanyaan. “Apakah orang-orang Tionghoa juga tidak melakukan diskriminasi yang sama pada orang lain?” Ini menurutku pertanyaan bagus. Ya, all my life I’ve seen this, over and over and over. Aku juga melihat orang Tionghoa mendiskriminasi. Tapi diskriminasi itu akan melahirkan diskriminasi, maka itu sebagai orang Tionghoa aku mau putus [rantai] ini. Jadi aku harus mau duluan berani non-diskriminatif. [Lagipula] tingkatan diskriminasinya beda, yang melakukan ini adalah negara—dengan skala, pendanaan, dan impact yang jauh lebih besar. Tapi aku memang sebetulnya setuju bahwa tidak ada diskriminasi yang bisa dibenarkan.
Discussion about this post